Pesawatku sebentar lagi lepas landas. Tunggu aku, aku tak sabar ingin bertemu denganmu :)
Sender : Alvin
Sudah cukup lama gadis itu menantika kalimat - yang baru saja dibacanya- mampir di inbox pada handphonenya. Tentu saja, siapa yang tak menginginkan orang yang di sayanginya pulang setelah bertahun-tahun lamanya tak bertemu karena terpisahkan oleh jarak yang begitu jauh.
Gadis itu melirik jam dinding yang terpasang di salah-satu permukaan dinding kamarnya. Hmmm… sekarang pukul tiga sore lebih sembilan menit. Berarti sekitar pukul tiga atau pukul setengah empat nanti Alvin, yang notabena kekasihnya itu sampai di Jakarta.
Segera ia membalas pesan singat itu, memingat sebantar lagi pesawat yang membawa kakasihnya itu akan segera lepas landas. Itu berarti Alvin akan mematikan handphonenya.
To : Alvin
Me too Vin :) hati-hati ya. aku selalu menunggumu :)
Ify menyimpan handphonenya di atas meja riasnya. Tak menunggu balasan pesan dari Alvin, gadis itu segera duduk di depan meja riasnya dan mulai tersenyum sendiri sambil memperhatikan wajahnya.
Kini waktu menunjukan pukul dua lebih duapuluh satu menit. Waktu baru bergulir sekitar duabelas menit setelah Ify melihat jam dindingnya tadi. Namun, nampaknya gadis ini sudah tak sabar lagi ingin bertemu dengan kekasihnya. Walaupun waktu masih memberinya kesempatan untuk bersantai sejenak sebelum ia menjemput Alvin di bandara nanti, tapi Ify sudah sibuk sendiri memilih pakaian yang akan dipakainnya nanti.
Crekkk…
Ify menoleh, saat mendengar suara decitan pintu kamarnya yang sengaja di buka dari luar.
“Mau kemana Fy? Sibuk banget? Ada acara penting?” tanpa melangkah lebih jauh lagi masuk ke dalam kamar anaknya itu, wanita paruh baya yang kini berdiri di ambang pintu kamar Ify itu pun nampak terkejut melihat kondisi kamar anaknya sekarang. Tantu saja, baru kali ini ia melihat kamar Ify berantakan dengan beberapa pakaian yang tergeletak seenaknya di lantai jingga kamar Ify.
“hehehe..” gadis itu malah tertawa, memamerkan seluruh deretan gigi putihnya yang di pagari oleh kawat gigi berwarna biru saat menyadari keterkejutan bundanya melihat keadaan kamarnya kali ini. “Hari ini Alvin pulang bunda. Gak salah kan, Ify pengen tampil secantik mungkin?”
“Oh ya?” bunda ify pun hanya tersenyum lalu menghampiri anak gadis satu-satunya itu. “Tapi, gak harus acak-acak baju kamu seperti ini kan Fy?” Ify pun hanya tersenyum malu. Apa ia terlalu berlebihan menyambut kedatangan Alvin?
“Nah, ini juga bagus. Kamu pake ini aja. Bunda yakin Alvin suka” setelah memilih satu baju langsungan dari lemari pakaian ify, bundanya pun menyocokan baju itu dengan tubuh anaknya. “kamu belum pernah pake baju ini kan?” Ify mengangguk. “ Ya udah. Bunda keluar dulu ya.. sebelum pergi beresin kamar kamu dulu..” Ify mengangguk, dan kemudian meraih gantungan yang menggantungkan dress birunya dari tangan bundanya.
***
Ify masih berada di dalam mobil Alvin yang dikendarainya. Ya, memang Ify yang meminta pada keluarga Alvin untuk menjemput Alvin sendirian. Dan keluarga Alvin pun menyetujui dan menyuruhnya untuk membawa mobil Alvin saja.
Setelah siap, dan memastikan tak ada yang tertinggal untuk dibawanya ke dalam bandara untuk menunggu Alvin datang nanti, Ify membuka pintu dan keluar dari mobil mewah milik Alvin.
Setelah mengunci pintu, gadis itu berjalan sendiri menuju tempat tunggu, menunggu Alvin dating..
Gadis itu duduk di salah satu bangku yang ada di tempat itu. Dengan senyum yang terus mengambang di bibir munglinya, gadis itu mengeluarkan ipod miliknya dan memasangkan sepasang headset – bener gak tuh nilisnya ?- di telinga kanan dan kirinya. Sambil menunggu Alvin, agar tak merasa bosan, ia memilih untuk mendengarkan musik saja.
I remember.. The way you glanced at me, yes I remember..
Baru saja sebaris lagu berjudul I Remember milik Mocca itu terdengar di telinganya, Ify malah tersenyum sendiri. Mengingat sesuatu yang terjadi padanyaan saat pertama ia mengenal Alvin
*
Ify sendang berjalan berdua dengan sahabatnya, Shilla di koridor panjang sekolahnya. Sambil menikmati tontonan gratis di sepanjang perjalanan mereka menuju kelasnya, tanpa mengurangi konsentrasi mereka untuk berjalan, dua gadis cantik itu memperhatikan orang-orang yang asik memperebutkan sebuah boleh sepak. Sebenarnya, menurut Ify yang tak tahu dan tak mengerti tentang bola, mereka itu adalah orang-orang yang kurang kerjaan. Memperebutkan sebuah bola dan akhir-akhirnya nanti di di lepaskan juga setelah mencapai gawang. Padahal bola kan harganya tak terlalu mahal. Mereka bisa membelinya dengan uang jajan mereka sendiri.
Tapi, itu kan menurut ify. Tak begitu mungkin menurut orang-orang yang sedang bermain disana. Pasti mereka punya anggapan lain tentang permainan itu.
“Fy… liat tuh,, Alvin liatin lo terus..” sambil menyenggol pelan lengan Ify, Shilla terus saja menggoda sahabatnya itu. Ify hanya tersenyjum malu.
“Apaan sih lo Shil, emang yang ada disini itu cuma gue doang?” Ify mencoba menyangkal. Tapi bukan Shilla namanya bila ia menyerah dan tak menggoda Ify lagi.
“Enggak Fy. Si Alvin tu emang liatin elo lagi. Liat deh, dia senyum tuh.. bales Fy..” Shilla masih saja mengoyang-goyangkan lengan sahabat karibnya itu, Shilla memperhatikan Alvin yang sejak lama di perhatikannya memang sering mencuri pandang pada karibnya ini.
Dengan ragu, Ify pun tersenyum. Memang berniat membalas senyuman Alvin itu, walau ia tak yakin betul senyum manis itu di persembahkan untuknya. Bisa saja kan Alvin tersenyum untuk orang lain? Atau bahkan untuk Shilla mungkin?”
“Hahaha.. kayaknya dia kegirangan benget senyumnya lo bales. Fy, fy.. dia nyamperin lo tuh..”
“Apaan sih…” Ify mengibaskan tangannnya di depan wajah Shilla. Shilla hanya terkekeh melihat sahabatnya yang sepertinya pun sama dengan Alvin. Sedang kegirangan tak jelas.
“Tenang Fy, gak usah dek-dekan gitu. Alvin gak gigit kok..hahaha…” Shilla malah tertawa sendiri saat menebak apa yang sedang di rasakan sahabatnya itu. Sedangkan Ify, tak di pungkiri ia sedikit dek-dekan saat Alvin berjalan menuju tempatnya dan Shilla berdiri sekarang. Apa benar Alvin akan menghampirinya? Atau malah menghampiri Shilla?
“Eh.. mhh.. halo..” ucap laki-laki bertubuh jangkung yang kini berdiri tegak di depan Ify dan Shilla. “Emm,, gue Alvin..” ucapnya lagi sambil menjulurkan tangannya tepat di depan Ify.
“Ha?” Ify nampak kebingungan. Bukannya balas menjawab ulurang tangan Alvin, ia malah bengong dan melirik Shilla.
“Gue Alvin..” ulang Alvin lebih jelas lagi saat mendenar nada kebingungan keluar dari bibir mungil gadis di depannya ini.
“Ify..” akhirnya setelah menyadari laki-laki itu mengajaknya berkenalan. Ia menjabat tangan laki-laki itu sebentar lalu melepaskannya lagi.
“Eh.. mmm,, Fy, gue duluan ya. Gue lupa Cakka hari ini jemput gue. Dah…”
“Eh,, Shilla…” Shilla hanya menoleh sebentar, lalu mengedipkan sebelah matanya sambil terus berjalan menjauhi Ify dan Alvin yang masih ada dalam posisi berhadap-hadapan. Ify melah bergidig.. melihat tingkah sahabatnya itu saat mengedipkan sebelah matanya. Gue masih normal kali, ucapnya dalam hati.
“temen lo kenapa Fy?”
“Eh mm.. ada keperluan mungkin” jawabnya. Ia baru menyadari lagi keberadaan Alvin yang masih berdiri di depannya.
*
Ify hanya bisa tersenyum, saat mengingat pertama ia berkenalan resmi dengan Alvin. Tatapan matanya tak pernah berbeda saat laki-lai itu meliriknya. Dari dulu, sampai sekarang.
I remember.. When we caught a shooting star, yes I remember..
I remember.. All the things that we shared and the pomose we made, just you and I
I remember.. All the laughter thet we shered, all the wishes we made, upon the roof at down
*
Tak disangka, perkenalannya di tepi lapangan itu pun membuat mereka bisa jauh mengenal satu sama lainnya. Ify adalah gadis yang sangat sempurna di mata Alvin. Begitu pun dengan Ify, ia selalu merasa nyaman berada di dekat laki-laki ini. Namun, rasa nyaman ini tak sama seperti yang dirasakannya saat bersama Shilla. Entah apa, ia lebih menyukai rasa nyaman ini.
“Fy, lo gak cape akhir-akhir ini terus pulang sore? Bahkan malam ini lo gak pulang?”
Ify mengalihkan pandangannya. Ia melirik laki-laki yang sedang duduk dengan kaki yang di selonjorkan. Laki-laki ini tampak lelah. Beberapa bulir keringat masih bersarang di wajahnya.
“Enggak. Gue malah seneng bisa lakuin semua ini. nyiapin acara perpisahan buat kakak-kakak kita. kalau gue gak mau lakuin semua ini, mungkin dulu gue gak akan pernah berniat masuk osis. Lo sendiri, gak cape?”
Kali ini, Alvin yang mengalihkan pandangannya. Pandangan mereka bertemu. Entah mengapa Alvin sangan menyukai profil wajah dari gadis di sebelahnya ini.
“Engga. Selama ada lo. Gue gak akan pernah lelah lewatin ini semua..”
“Gombal..”
“Sumpah.. kalau gue dulu gak liat lo ada di barisan calon osis, gue gak mau loh masuk organisasi macem ginian.” Ify hanya tersenyum. Malu. Ini bukan kali pertamanya Alvin berkata seperti itu. “Fy, lo mau gak janji sama gue?”
“Hah? Janji?”
“Iya. Lo mau gak janji sama gue kalau lo gak akan pernah ninggalin gue? Kita akan selalu bersama. Sampai kapanpun?”
Ify sempat menimang apa yang baru saja di katakana laki-laki berkulit putih itu. Apakah Alvin memintanya untuk terus bersama? Ia tak salah dengar kan?
“Gimana Fy? Lo mau kan? Lo mau kan janji sama gue?”
Ya, Ify memang tak salah dengar. Tapi, sampai saat ini, Alvin tak pernah meminta dirinya menjadi kekasihnya. Walaupun sudah berulang kali Alvin mengatakan bahwa ia mencintai gadis itu.
Tapi, sepertinya Alvin tak main-main dengan ucapannya. Saat Ify masih berpikir apa yang seharusnya di perbuat, laki-laki itu meraih telapak tangan Ify dan menggengamnya erat di depan dadanya.
“Disini, Cuma ada elo..” ucapnya. “Lo mau kan?”
Dan tanpaa ragu lagi, Ify tersenyum dan akhirnya mengangguk. Sejak hari itu, tanpa ada ikatan apapun, mereka sama-sama mengucapkan janji untuk terus bersama. Hanya Alvin dan Ify.
*
Ya, mungkin memang tak sama persis seperti apa yang di lantunkan Mocca lewat lagunya itu. Tapi, setidaknya suasana yang sama, di atas atap sambil menunggu matahari tenggelam, gadis itu akhirnya menamukan tambatan hatinya.
Do you remember ?
When we where dancing in the rain in that December
*
Musim hujan. Ya, memang bulan Desember selalu di temani dengan rintik-rintik air hujan. Ify mengembang-kempiskan pipinya. Bosan juga menunggu hujan yang tak kunjung berhanti. Menyesal juga mengapa tadi ia tak menuruti apa kata bundanya.
“Hey, belum pulang?” Ify menoleh dan tersenyum saat mengetahui siapa yang datang menghampirinya. “Gak barengan Shilla?”
“Shilla dari tadi udah pulang bareng Cakka”
“Ohh.. lo kok gak nebeng mereka?” Ify menggeleng. Tak mau ia menjadi obat nyamuk di antara dua pasangan itu.
“Enggak. Gue paling gak bisa duduk manis di tengah-tengeh orang yang pacaran. Hehe. Lagian, rumah Shilla ataupun Cakka kan gak ada yang searah. Kasian kalau sengaja nganter gue”
“Kalau gitu, lo pulang bareng sama gue aja. Mau?”
“Lo emangnya bawa mobil?” Alvin menggeleng. “Terus?”
“Kita jalan kaki aja”
“Ujan-ujanan?” Alvin mengangguk. “Enggak! Nanti gie dimarahin bunda.”
“Yah Fy. Sekali ini kok. Yu?” Alvin mengulurkan tangannya. “Ayo..” Ify menggeleng. Lalu dengan cepat membuang muka menatap sudut lain sekolahnya. “Ujan gini lama loh berhentinya” Ify tetap menggeleng. “Ify… yu pulang? Romantis loh ujan-ujanan berdua..” barulah gadis itu menoleh lagi. Alvin hanya terkekeh.
“Apaan sih lu. Romantis-romantisan segala. Ck!”
“Biarin. Kita kan cocok Fy”
“Gak nyambung!”
“Ayolah Fy..”
“Entar ah, gue mikir dulu..” Alvin tersenyum. Lalu ia selangkah maju di depan Ify.
“Ayo ahh.. kelamaannn…”
“Alvinnnnn !!!!!” tanpa menunggu persetujuan dari Ify, Alvin menarik lengan Ify menghampiri rintik-rintik air yang tujun dari langit gelap sore itu. Alvin hanya teretawa, melihat Ify seperti orang yang takut akan air. Gadis itu secepat mungkin lari menghindari air dan berteduh di tempatnya tadi.
“Alviinnn !! nyebelin banget sih lu ah..” umpatnya sambil mengusap usap lengan bajunya yang mulai basah kuyup.
“hahahaha… lo phobia air Fy? Takut banget kena iar hujan” laki-laki itu malah tertawa. Ia masih berdiri di tengah-tengeh air hujan yang membasahi bumi pertiwi ini.
“Gue bukannya takut sama air. Gue takut di marahin bunda, Alvin !!”
“Udah basah tuh.. pulang yu. Lagian lo basah dikit sama basah banyak sama-sama di marahin kan? Ayo pulang…” Ify melirik pakaiannya. Ahh, dasar Alvin!
“Ya udah. Kita pulang” Alvin pun tersenyum. Kembali ia mengulurkan tangannya dan kali ini di sambut oleh Ify. Mereka berlarian, menembus derasnya iar hujan. Melewati gerbang sekolahnya. Dan pulang besrama. Kembali mengukir kisah indah. Hanya berdua.
*
I remember.. All the things that we shared and the pomose we made, just you and I
I remember.. All the laughter thet we shered, all the wishes we made, upon the roof at down
Ify hanye bisa tersenyum sendiri bila mengenang masa-masa SMA nya dulu bersama Alvin. Tak menunggu lagu itu di selsaikan, Ify melepas headsetnya suara lembut wanita terdengar, memberi tahukan bahwa pesawat yang Alvin naiki sudah mendarat.
Gadis itu berdiri, dan berjalan menghampiri orang-orang yang sepertinya. Sambil sedikit menjinjitkan kakinya, ia mengangkat kepalanya dan mengedarkn pandangannya. Mencari sosok jangkung berkulit putih itu.
Gadis itu tersenyum. Dan entah mengapa kakinya tak lagi bisa di gerakkan. Di ujung penglihatannya, gadis itu melihat sosok yang dicarinya sejak tadi. Alvin, kini juga tersenyum sambil menghampiri dirinya yang tak bisa lagi bergerak.
“Hay..” Laki-laki itu tepat berhenti di depan Ify. Dengan senyum yang mengembang, ia mengakat tangannya, dan kembali berkata “Hay Fy..”
“Kamu, beneran Alvin kan?” tanyanya ragu, sosok di depannya ini adalah Alvin, kekasihnya. Laki-laki itu tampak berubah. Kini bukan lagi kaos kusut yang menempel di dadanya. Bukan lagi celana jeas lepek membalut kakinya.
“kenapa? Kamu gak suka sama penampilan aku?” dengan cepat Ify menggeleng. Bukannya tak suka dengaan penampilan Alvin, ia hanya saja tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Aku suka kamu. Bukan suka penampilan kamu” jawabnya mantap.
“Kamu juga beda. Kamu lebih dewasa..” Alvin mengelus pelan pipi gadisnya itu. Lalu dengan segenap rasa rindunya, Alvin mendekap tubuh kurus gadisnya. Seakan tak mau lagi berpisah dengan gadis itu.
“Pulang yu. Kangen-kangenanya di rumah aja vin. Keluarga kamu juga udan nunggu.” Dengan terpaksa, Alvin melepaskan pelukannya. Dengan sebelah tangannya yang bebas, ia merangkul Ify. Merangkul gadisnya itu dengan sepenuh hati. Cukup tiga tahun ini saja ia berpisah dengan Ify.
*
I remember…
The way you read your books,
Yes I remember
The way you tied your shoes,
Yes I remember
The cake you loved the most,
Yes I remember
The way you drank you coffee,
I remember
The way you glanced at me, yes I remember
When we caught a shooting star,
Yes I remember
When we were dancing in the rain in that december
And the way you smile at me,
Yes I remember
The way you read your books,
Yes I remember
The way you tied your shoes,
Yes I remember
The cake you loved the most,
Yes I remember
The way you drank you coffee,
I remember
The way you glanced at me, yes I remember
When we caught a shooting star,
Yes I remember
When we were dancing in the rain in that december
And the way you smile at me,
Yes I remember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar