Minggu, 18 Desember 2011

Bersama Angin (Cerpen)

“Oke, karena banyak banget nih yang request lagu ini. Mending kita putar aja deh. ini dia, Lyla ‘Bernafas Tanpamu’”alunan intro lagu yang di nyanyikan oleh Lyla pun mulai mengalun indah di dalam mobil itu. Lagi-lagi lagu ini. Entah mengapa akhir-akhir ini, ia sering sekali mendengar lagu ini mengalun. Entah dari radio, televisi , ataupun pedangang kaki lima yang menjajakkan berbagai CD dan DVD.
Shilla, gadis cantik yang sedang duduk manis di kursi penumpang itu meraba bahunya. Aneh. Semenjak kejadian itu, lagu ini seakan menyihir Shilla untuk mengingat kembali sosok itu.


Mungkin Kau bertanya-tanya
Arti perhatianku terhadapmu
Lagu itu mulai menampakan liriknya. Shilla mengusap lehernya yang dirasa bulu kuduknya berdiri. Sama seperti sebelum-sebelumnya .
***
Shilla berjalan sendiri menuju perpustakaan sambil merutuki perbuatannya. Akibat dari tidak mengerjakan tugas, alhasil Shilla tak diperbolehkan mengikuti pelajaran.
Ia membuka pintu perpustakaan itu. Sepi. Kosong. Hanya ada seorang wanita paruh baya yang bertugas menjaga perpustakaan itu. Shilla tersenyum saat wanita itu juga tersenyum padanya.
Ia melepas sepatunya, dan menyimpannya di tempat penyimpanan sepatu. Lalu ia mulai berjalan menghampiri rak buku yang berisi buku-buku fiksi.
“Shilla,, makan …” Shilla menoleh. Siapa ? tak ada seorangpun selain dirinya dan wanita paruh baya itu. apa jangan-jangan? “Ah,,” Shilla menggeleng cepat. Ia kembali fokus pada buku-buku fiksi koleksi sekolahnya.
“Hey, nanti magnya kambuh loh..” untuk kedua kalinya Shilla mencari sumber suara itu. tak ada siapa-siapa. Apa itu hanya suara suara yang terbawa angin? Tapi, semuanya terdengar begitu jelas.
Shilla,, makan …
Hey, nanti magnya kambuh loh..
Dua kalimat itu sedikit mengusik pikirannya.  Memang hanya kalimat sederhana yang mudah di mengerti. Dua kalimat itu menyuruh Shilla untuk cepat makan. Ya, setelah istirahat kedua tadi Shilla tak sempat makan siang. Mungkin dua kalimat yang di bawa bersama angin itu menyuruhnya untuk pergi ke kanti dan mengisi perutnya agar penyakit yang dideritanya tidak kambuh.
Namun ada satu hal yang tak dimengertinya. Mengapa suara terdengar begitu mirip dengan suara seseorang yang sangat di sayanginya?
***
“kenapa Shil ?”
“Eh, Iya. Kenapa ?” Shilla sudah benar-benar kehilangan konsentrasinya. Pertanyaan mudah seperti itu saja malah ia jawab dengan pertanyaan lain. Gadis itu menyisipkan rambutnya panjangnya yang tergerai jatuh menutupi sebagian wajahnya ke belakang telinga.
Pasti kau menerka-nerka
Apa yang tersirat dalam benakku
Lagu itu terus mengalun seiring dengan pertanyaan Shilla yang tak pernah bisa di jawab oleh nalarnya sendiri. Lirik-lirik itu, seakan menggambarkan apa yang ingin Shilla tau selama ini.
“Aku ganti ya lagunya ?”
“Gak usah Vin”
“Kamu gak papa kan?”
“Aku gak papa” selalu begitu. Alvin mengurungkan niatnya untuk mengganti siaran radio yang ada di dalam mobilnya. Di tengan konsentrasi untuk menyetir, Alvin melirik Shilla yang selalu terlihat gelisah saat lagu ini diperdengarkan. Alvin tau, sosok itu masih ada. Sosok itu masih melekat erat dalam kehidupan Shilla. Sosok itu, belum benar- benar pergi.
Akulah serpihan kisah masa lalumu
Yang sekedar ingin tau keadaanmu
***
Shilla dudul sendiri di sofa panjang sambil menikmati acara televisi. Hanya sendiri. Tak ada siapa-siapa selain dirinya di rumah itu. Tap.. Tap… Tap… Shilla menoleh. Menyakinkan dirinya apakah benar ia mendengar suara orang yang sedang berjalan? Ia menggelang cepat. Lalu kembali memfokuskan segala indranya untuk menikmati acara televisi itu.
Tap.. Tap.. Tap.. kali ini ia tak menoleh. Suara itu makin terdengar jelas. Bahkan untuk kali ini sofa yang di dudukinya terasa ada yang mengusik. Bulu kuduknya kembali berdiri. Ada apa?
Shilla tersenyum. Ternyata sosok itu kembali datang. Menemani Shilla dengan bayang-banyang dan suara angin yang hanya Shilla sendiri yang merasakan dan mendengarnya. Sejenak Shilla memang tak merasa terganggu. Namun, setelah itu Shilla semakin sulit menghapus bayang-bayang dan angin yang hampir setiap saat menemaninya. Semua itu, membuat Shilla terbelenggu dalam dunianya sendiri, walaupun sebenarnya sudah satu tahun raganya meninggalkan Shilla.
***
Tak pernah aku bermaksud mengusikmu
Menggangu setiap ketentraman hidupmu
Hanya tak mudah bagiku lupakanmu
Dan pergi menjauh…
Seakan menjawab seluruh pertanyaan yang menggunung dan berserakan di dalam benaknya.
Beri sedikit waktu
Agarku terbiasa
Bernafas tanpamu…
“Shill, kamu beneran gak papa?” walau hanya bisa melihat lewat ekor matanya, Alvin bisa melihat dengan jelas Shilla yang terlihat memucat dan semakin gelisah. Tangannya terus mengusap-usap belakang lehernya. “Aku matikan ya Shill?”
“Gak usah Vin. Aku gak papa”
Teruntuk, Dirimu..
Dengarkanlah aaaa….
Seperti sebuah filem yang sedang menayangkan klimaksnya. Empat kata yang disimpan dengan rapih di antara nada-nada indah itu membuat Shilla semakin merinding. Seakan seluruh angin yang menerpa wajahnya ikut  berteriak. Bahwa angin (sosok) itu, masih ada.
“Vin, aku masih mengerasa dia ada disini. Kamu gak papa kan?”
“Shil, aku gak tega lihat kamu jadi seperti ini. Kalau memang dia mau nemenin kamu, oke fine. Asalkan dia janji sama aku, untuk gak membuat kamu kayak gini” Shilla hanya tersenyum. Ia dapat merasakan sosok angin itu menyetujuin apa yang Alvin katakan seiring dengan berakhirnya lagu yang dinyanyikan oleh Lyla.
“Sepertinya dia mendengarnya Vin. Kamu gak keberatan kan untuk berbagi ?”
“Berbagi dengan manusia sekalipun akan sulit Shil, apalagi dengan angin. Karena aku tak bisa melihat apa yang dia lakukan. Tapi, aku yakin seiring dengan waktu, angin itu pasti kalah. Karena dia hanya masa lalumu. Sedangkan aku adalah masa depanmu”
“Makasih ya ..”
“Sudah lah. Biarkan dia tetap hidup. Aku yakin, aku dan Rio punya tempat masing-masing dalam hatimu.”
“Shilla sayang Alvin dan Rio selamanya …” Alvin mengusap lembut gadis yang akan menjadi masa depannya ini. Mereka berdua tersenyum. begitupun dengan angin itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar