About Us [13] Antara Ify dan Rio ..
“Rio..” Laki-laki itu malah tersenyum lebar melihat gadis yang sejak
tadi dinantinya akhirnya muncul. Ia menyimpan helm yang sejak tadi ia
peluk dan segera menghapiri Ify karena gadis itu tak kunjung
menghampirinya.
“Lo, ngapain disini?” Tanya Ify judes. Ify terkejut mendapati Rio
kembali ada di depan rumahnya. Bukannya kemarin Rio lebih memilih
menjemput Vara? Bukannya Ify sudah menegaskan tak ada hubungan apa-apa
diantara mereka?
“Jemput kamu..” Rio tersenyum lembut. Ify menahan nafasnya. Dadanya
terasa berdetak lebih cepat. Kamu? Rio memanggilnya dengan ‘kamu’? bukan
‘lo’ atau ‘elo’ yang biasa Rio ungkapkan untuknya. Tak ia pungkiri, ia
senang melihat Rio ada di sini. Apalagi melihat senyum lembut Rio yang
begitu menyejukan hati.
Ify menggeleng pelan. Laki-laki memang selalu bersikap seperti ini.
Ia tidak boleh terbuai dengan sikap baik laki-laki. Indah di awal, belum
tentu indah pada akhirnya.
“Gue mau berangkat sama nyokap.” Jawabnya cukup tegas.
Rio bisa melihat raut ketidaksukaan Ify padanya. Apa ini masih menyangkut kemarin? “Sekali ini aja. Please..” Rio memohon.
“Gak!” Ify menggeleng dengan cepat. “Lo pikir gue gak bisa berangkat sendiri apa?”
“Bukan gitu maksudnya Fy..”
“Jangan samain gue sama cewek-cewek yang seneng lo deketin. Gue bisa
berangkat sendiri. Jangan mentang-mentang elo punya motor bagus, terus
seenaknya aja elo jemput gue? Sebelum gue kenal sama lo, gue bisa dengan
selamat sampai ke sekolah.”
“Fy, aku tahu kamu cewek mandiri. Kamu gak ketergantungan sama orang lain. Tapi maksud aku bukan kayak gitu Fy.”
“Apa? Lo Cuma mau ngerendahin gue, kan? Gue juga tahu elo orang
kaya. Lo punya motor bagus buat jemput cewek-cewek sesuka hati lo. Tapi
tolong ingat Rio, gue bukan salah satu dari mereka!”
“Kamu kok jadi ngomong ke sana sih Fy? Cewek yang pernah aku jemput itu cuma kamu. Kamu satu-satunya Fy.”
“Bulshit! Mulut laki-laki kan sama. Tukang bohong!”
“IFY!!” tidak terima dikatakan seperti itu, tanpa sadar nada
bicaranya meninggi. Rio sempat melihat Ify yang tersentak mendengar
bentakannya tadi. Tapi selanjutnya, bukannya Ify takut. Gadis itu malah
menatap Rio tajam.
“Banci banget bisanya cuma bentak cewek.” Ify tersenyum miring.
Dalam hatinya ia takut melihat Rio yang seperti ini. Rio yang lembut,
bisa membentaknya hanya kerena masalah seperti ini. “Benerkan gue
bilang? Laki-laki itu semuanya bulshit! Ada maunya baiknya minta ampun”
Rio mengepal telapak tangannya. Sebisa mungin ia meredam amarahnya.
Ia tak ingin marah. Rio tak ingin kembali melukai gadis ini. Ia hanya
tak terima dikatai seperti itu. Bukan saja sudah menjatuhkan harga
dirinya, tapi apa yang Ify katakan sama sekali tidak benar. Rio yakin
dirinya tak seperti itu.
“Apa? Lo mau mukul gue?” melihat tangan Rio yang mengepal, membuat
Ify malah ingin lebih menantang laki-laki itu. “Ayo pukul” gadis itu
menunjuk sebelah pipinya.
Rio menahan nafasnya. Ini bukan sepenuhnya salah Ify. Itu yang
membuat Rio tak ingin membalas apa yang dilakukan Ify padanya. Rio
kembali melemaskan tangannya yang sempat mengepal, dan tersenyum. Kalau
bukan dia yang mengalah, masalah ini tak akan pernah bisa selesai.
“Kalau gitu, aku duluan ke sekolah ya Fy. Sampai ketemu di sekolah.”
Senyum Rio makin lebar saja. Tak lama, gadis itu hanya bisa melihat
punggung Rio menjauh. Semain menjauh, dan menghilang bersama deru sepeda
motor yang membawanya pergi.
Ify terduduk lemas di kursi teras rumahnya. Ia menenggelamkan
seluruh wajahnya di kedua telapak tangannya. Ia sendiri tak menyangka
bisa bicara sepedas itu pada Rio. Walaupun sajak dulu ia tak pernah
‘suka’ pada laki-laki, tak sekalipun Ify menyebut mereka dengan sebutan
‘banci’.
“Fy, mama dengar ada suara motor? Ada yang datang?” Ify menoleh dan
mendapati mamanya berdiri di ambang pintu. Apa mamanya mendengar acara
rebut-ributnya tadi? Ify jadi sedikit gelagapan.
“Emm.. tadi ada yang nanyain alamat ma. Orangnya udah pergi lagi kok.” Jawabnya. Semoga saja mamanya percaya.
“Ooh.. kamu gak dijemput lagi sama Rio?” Ify menggeleng pelan.
“Rio bukan siapa-siapa aku ma. Dia gak perlu jemput aku tiap hari”
***
“Gue liat, tadi Ify datang sendiri. Elo gak jemput dia lagi?”
akhirnya Shilla buka suara setelah sejak tadi terus berdiam diri. Rio
mengajaknya untuk bertemu di tepi lapangan, Shilla pikir laki-laki itu
akan menceritakan apa yang terjadi antara Rio dan Ify. Tapi, sampai
detik Shilla bertanya, Rio tak bicara sepatah katapun.
“Emangnya, semua omongan cowok itu bulshit ya Shil?” Shilla malah
semakin heran. Diberi pertanyaan, mengapa Rio malah balik bertanya
padanya dengan topik yang berbeda.
“Lo ngomong apa sih Yo? Siapa yang bilang kayak gitu?”
“Lo pernah ngerasa gimanya rasanya orang yang lo sayang udah gak percaya lagi sama lo?”
Shilla semakin sebal. Apa sih yang sebenarnya terjadi dengan
kakaknya ini? “Lo gue tanya bukannya jawab malah ngasih gue pertanyaan
lain. Sebel tahu dicuekin.” Bukannya mendapat respon dari Rio, Shilla
malah merasa makin diacuhkan saja. Kakaknya itu malah menatap lurus
kedepan dengan tatapan kosong. Apa setiap laki-laki jika memiliki
masalah selalu berdiam diri seperti ini?
“Yo, kalau memang ini masih tentang Ify yang ngeliat lo boncengin
Vara kemarin, lo harus berusaha bikin Ify kalau elo sama Vara gak ada
hubungan apa-apa.”
“Dia udah gak percaya lagi sama gue Shil.” Jawab Rio putus asa.
Apalagi setelah Ify mengatakan semua yang keluar dari mulut laki-laki
itu bulshit.
“Mungkin Ify lebih percaya dengan apa yang dia lihat sendiri. Itu
juga yang harus lo tunjukin sama Ify.” Shilla menepuk pelan pundak Rio.
Ia hanya bisa melihat Rio seperti ini saat kakanya ini sakit, atau saat
sedang berselisih paham dengan kedua orang tua mereka. Namun, Ify sudah
merubah semuanya. Rio bisa terlihat rapuh saat gadis itu berhasil
mengacak-ngacak hatinya.
“Mungin lo tahu sesuatu yang pasti akan membuat Ify senang?” Rio
berfikir. Apa yang bisa ia lakukan untuk gadis itu? Seketika bibirnya
membentuk lengkungan indah. Rio tersenyum.
“Kayaknya gue tahu apa yang harus gue lakukan. Thanks ya Shil..”
Shilla ikut tersenyum. Senang sekali melihat Rio yang kembali tersenyum.
Kalau memang itu yang dinginkan Ify. Rio yakin, ia bisa kembali mengambil hati gadis itu.
***
“Sepertinya kemarin anak itu sedang patah hati. Mama lihat dia
sudah kembali tersenyum sepulang sekolah.” Wanita itu menghampiri
suaminya yang sibuk dengan banyak kertas di atas meja. Pria berwajah
tenang itu mengangkat wajahnya dan tersenyum pada istrinya.
“Mama sudah tanyakan pada Shilla?” istrinya mengangguk. “Terus, apa katanya?”
Orang tua Rio memang selalu ingin tahu dengan apa yang terjadi pada
dua remaja itu. Bukan maksud untuk mengekeng, mereka tak akan memaksa
bila mereka tak mau menceritakan pada mereka. Malah, tanpa diminta Rio
dan Shilla akan dengan senang hati menceritakan kegiatan-kegiatan
mereka.
“Shilla gak mau cerita. Katanya mama disuruh tanya sendiri sama Rio.”
“Ya sudah lah.. Kalaupun mereka butuh bantuan kita, mereka pasti
cerita.” Mama Rio mengangguk dan tersenyum. Memiliki dua anak seperti
Rio dan Shilla membuatnya sangat bersyukur. Ia sangat bahagia dengan
hadirnya dua malaikat (tidak lagi) kecil itu.
“Ngomong-ngomong tentang Rio, kemarin waktu papa nganter Shilla ke mall, papa ketemu sama Shintia.”
“Shintia?” sepertinya nama itu tak asing lagi untuknya. Wanita itu
kembali mengingat. “Oh iya. Terus papa tau alamat dia sekarang dimana?”
“Itu yang papa lupa. Sepertinya Shintia sedang buru-buru. Papa hanya sempat mengenalkan Shilla padanya.”
“Kalau memang Shintia tinggal di kota ini, secepatnya papa harus
bertemu dengannya. Papa janji akan mempertemukan Rio dengan mereka,
kan?” Gara –papa Rio- mengangguk. Benar juga. Dulu ia sempat hilang
kontak dengan wanita itu. Kini Rio sudah tumbuh semakin dewasa. Lebih
cepat lebih baik untuk mempertemukan Rio dengan dua wanita itu.
“Papa akan cari data mereka. Kalau memang mereka tinggal di kota ini, rasanya bukan sesuatu yang sulit”
***
ini belum juga di lanjut yaa.. ayo dong lanjut..
BalasHapusnumpang promo yaa kunjungi blog gue yaa: obat kista tradisional