Blank
Jarum jam terus saja berputar. Rintik-rintik air hujan pun kian giat membasahi bumi pertiwi. Gadis itu termenung sendirian, memandang langit sore yang tak kunjung cerah. Satu harapan dalam hatinya sejak 24 jam yang lalu. Agar laki-laki itu cepat kembali.
Duapuluh empat jam mungkin terlalu singkat untuk anak manusia yang sedang menikmati detik demi detik bersama. Siapapun itu. Namun untuknya, memutar jarum hidup sendirian terlalu berat, sehingga detik melambat, menit melaun, jam sulit bergerak, dan lebih sulit lagi mengganti sang bulan menjadi surya. Tidak pernah ia mengira, adu mulut kecil soreitu membuahkan sedikit perubahan. Belum sempat ia mengantisipasi untuk perubahan ini, laki-laki itu telah pergi. Tanpa kata, tanpa sebuah ucapan.
Ia masih berdiri mematung. Meratapi rintik-rintik air hujan itu. Awan sedang menangis, sama seperti dirinya kini. Mungkin kini ia seperti awan. Namun awan tak seperti dirinya. Andai saja dirinya sama persis seperti awan. Setidaknya ada sesosok petani yang tersenyum saat awan mendung itu mengeluarkan keluh kesahnya dengan bentuk rintik-rintik air setelah kemarau panjang. Tapi dirinya, hanya bisa berharap dan kembali berharap. Agar laki-laki itu segera kembali dan lekas pulang.
***
“Enggak!” tetep kekeh pada sesuatu ditangannya, lelaki itu malah semakin menjauh dari gadis di hadapannya. Sebisa mungkin ia mempertahankan apa yang ia pegang.
“Siniin!!” dan gadis ini, tak mau kalah. Tetap mencoba meraih sesuatu yang menurutnya itu adalah miliknya.
“pelit amat sih lo?” Alvin, laki-laki itu berhasil merebut kembali berhasil merebut apa yang menurutnya sangat istimewa dan sangat jarang ‘benda’ itu terlihat berada di dalam rumah petak kecil itu.
“Itu puny ague!!” Shilla, gadis itu berteriak kencang. Membuat Alvin tersentak dan menutup kedua daun telinganya.
Sebentar, Alvin itu tak bergerak, memandang Shilla yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi… ah entahlah itu ekspresi apa. Terlalu sulit untuk di artikan. Sejurus kemudian, dia…
“Eh, jangan dibuka!!” hap! Selamat. Benda itu tak terbuka. Sekali berenang, 2 3 ikan paus dilahap. Selain tidak berhasil dibuka oleh Alvin, benda itu kembali berada di dekapan Shilla.
Shilla lari terbirit-birit menghindar dari Alvin. Ya, baru saja tengannya menyentuh handle pintu kamarnya, sebuah tangan lein telah menghalanginya untuk tak membuka pintu itu.
“Lo mau kemana?”
“Ihh lepas!” Shilla sebisa mungkin melepas genggaman Alvin dengan satu tangan dengan cara membanting-banting tangannya sendiri. “kita bukan mukhrim!”
Ha? Apa yang dari di katakana gadis cantik bernama Shilla itu? Dia tersadar, kini Shilla tak lagi ada di dekatnya.
BRAKK..
Ia sedikit tersentak. Rambutnya yang sedikit panjang pun terkibas dengan adanya angina buatan itu. “Sial!” umpatnya melihat Shilla telah menghilang di balik daun pintu kayu itu.
“Wooooooooyyyyyyyyyyyy buka bego! Kita mukhrim! Ayo pegangan!!” teriak Alvin sambil terus menggedor pintu yang dimasuki Shilla tadi.
“Elu yang bego!udah tau kita kakak adek. Masih aja mikir dulu!” Shilla malah terkekeh di dalam kamarnya. Akhirnya tak ada yang bisa merebut harta istimewanya sekarang. Ia menghela nafas, lalu tersenyum dan segera membuka bungkusannya.
“jangan di buka!” ia berbalik. Bodoh. Kakaknya, Alvin masuk lewat jendela. Ia berlari menuju pintu. Sial, ia lupa telah mengunci pintu itu dan meletakan kuncinya sembarangan.
“Arrrghhh… jangan deket-deket !!”
“Biasa aja muka lo! Udah jelek tambah jelek!” ujar Alvin sambil menempeleng pipi adik semata wayangnya itu yang sedang memajukan bibirnya.
“Ya udah. Gue kan jelek. Pergi sannnaaaa !!” tak ragu-ragu Shilla mendorong pundak kakaknya menjauh darinya. Enak saja mau mengambil harta terindahnya yang di pegangnya sekarang.
“Ayolah Shil. Kita bagi dua aja kenapa?” bujuknya. Cara kasar tak berhasil. Mungkin kini ia harus membujuknya dengan cara halus.
“Enggak. Enak aja ! lo kan juga dikasih. Ini punya gue !!” balasnya bangga. Samakin kuat pelukannya pada barang itu. Entah mengapa kali ini ia sama sekali tak mau berbagi dengan laki-laki itu. Shilla segera berdiri cepat berlari menuju jendela untuk melarikan diri. Tapi ……
“AAAAAAA….” Suara teriakan khas seorang wanita pun terdengar. “BRUKK…” disusul dengan bunyi sebuah benda emm mungkin lebih tepatnya badan Shilla ke lantai. Alvin malah tertawa. Tak mersa bersalah sama sekali atas perbuatannya itu.
“Hahahahaha.. jalan hati-hati neng..” Shilla mencibir. Segera ia bangun dan menghampiri kakaknya. “Sakitya Shil? Cup cup cup.. jangan nangis cayang..” Alvin kembali tertawa sambil mengusap pelan pipi adiknya yang langsung di tepis oleh Shilla.
“Lho…” Shilla mengangkat tangannya –tepatnya telunjuknya- tepat ke depan wajah tampan kakaknya itu. Sambil menatap tajam mata hitam Alvin “Eh..” Shilla tersadar. matanya beratih menatap kedua tangannya. Kosong. Lho?
Shilla segera berlari. Menghampiri daun jendela yang terbuka lebar begitu saja. Kepalanya bergerak kesana kemari.
“Kenapa li Shil?” tanya Alvin yang juga ikut heran dengan sikap adiknya itu.
Shilla tak menjawab. Ia masih sibuk menggerakan kepalanya kesegala arah. Dan akhirnya ..
“AAAAA… KAK ALVIN !! LO NYEBELIN !!!” teriaknya sekencang mungkin. Sakin kencangnya kedua tangan Alvin tak mampu menutupi telinganya dari teriakan adiknya itu.
“Lu kenapa sih??” tanyanya. Tanpa ragu Shilla menghampiri Alvin dan menarik kerah baju kali-kali itu menuju jendela.
“ahh ahh ahh.. gue bisa jalan sendiri Shilla..”
“Lo liat itu ! gak mau tau lo harus gantii !!!” Alvin mengikiti arah yang di tunjukan oleh Shilla. Apa itu? Sesuatu yang mengambang di air. Berwarna cokelat? Sepertinya itu ..
“gara-gara kaki lo puny ague hanyut ALVIN !!!” Alvin hanya bisa meneeguk ludahnya sendiri. Shilla semarah ini? oh tidak.. pati saat Shilla jatuh tadi bungkusan itu terbang, sampai jatuh ke suangan kecil yang mengalir di sebelah rumahnya.
“Nanti gue ganti Shil..” katanya. Berusaha menenangkan Shilla. Walaupun ia sendiri tak tau harus menggantinya dengan apa.
“GAK MAU TAU ! LO SEKARANG CARI YANG SAMA PERCIS PUNYA GUE ITU ! SEBELUM DAPET JANGAN PULANG LO !!!” Alvin kembali menutup telinganya. Dahsyat sekali suara gadis ini?
***
Shilla masih menatap rintik-rintik air hujan itu. Tak ia sangka, Alvin menganggap serius apa yang di katakannya. Ya memang sebenarnya ia kesal juga pada kakaknya yang satu itu. Tapi tau begini, tak akan ia meminta Alvin tak pulang sebelum ia menemukan yang sama précis dengan bungkusan yang hanyut itu. Padalah ia tak punya siapa-siapa lagi selain Alvin disini.
Rintik-rintik itu makin lama makin sedikit. Shilla melebarkan matanya. Seiring berhentinya rintik-rintik air yang membuat basah itu, terlihat seorang laki-laki menghampiri tempat ia berdiri. Laki-lai itu tersenyum.
Shilla kembali mengusap matanya. Ia tak salah lihat kan? Disana memang sedang berjalan seorang pemuda tinggi ? Shilla pun ikut tersenyum dan segera lari menghampiri pemuda itu.
“Kakak, kakak kemana aja?” tanyanya. Tak mampu lagi membendung rasa rindu yang amat mendalam pada kakak laki-lakinya itu.
“Lho? Bukannya kamu yang suruh kakak cari ini?” Alvin mengacukngkan sebuah kantong kresek hitam di tangannya. Shilla tersenyum dan kembali memeluk kakaknya.
“Kakak bener-bener beliin itu buat Shilla?”
“Iya.. kakak beli tiga malah. Buat kamu dua. Buat kakak satu. Rasa Ayam panggang loh..” Shilla melapas pelukannya. Lalu dilihat isi kantong kresek hitam itu.
“Makasih kakak Chitatonya ..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar