Jumat, 21 Juni 2013

Unrequited (Cerpen)

Mataku masih memperhatikan seseorang di balkon sebrang sana. Bibirku tersenyum. Entah sejak kapan, aku kembali tertarik dengan wajah itu. senyumnya, tingkah lakunya sama sekali tak berubah. Dengan gayanya yang sedikit arogan, dengan mudah ia mendapatkan teman dan mengakrabkan diri dengan mereka. Sangat berbeda seratus delapan puluh derajat denganku, yang lebih memilih untuk diam dan tak bicara sedikitpun bila tak kenal dengan siapa pun.
 
“hey, ngelamun aja. Pake senyam-senyum segala lagi” aku menoleh, dan mendapati Shilla, sahabatku yang kini ikut menumpukan sikutnya pada tempok pembatas balkon tepat di sampingku.
 
“Oh, pantes aja. Ada dia toh? Lo beneran suka sama dia?” tanpa ragu aku mengangguk. Shilla, gadis cantik yang bukan hanya baik hati, gadis yang juga pintar ini adalah sahabatku sejak aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Shilla adalah satu-satunya orang yang paling dekat denganku. Mungkin melebihi kedekatanku dengan orang tuaku. Shilla tau semua tantang apa yang tak pernah orang lain tau dariku. Maka dari itu, walaupun Shilla hanya berkata dengan kata ganti ‘dia’ tanpa sedikitpun menyebutkan namanya, aku tau ‘dia’ yang dimaksud Shilla adalah ‘dia’ yang kini sedang aku perhatikan.
 
“Karma itu memang berlaku ya Fy?” aku terdiam. Kata-kata Shilla tadi mampu menggugah ingatanku kembali ke tiga tahun lalu tepat tanggal 3 Novermber 2008. saat aku dan dia masih sama-sama duduk di bangku kelas sembilan.
 
*
 
“Aku mau dia yang bilang sendiri..”ujarku penuh keyakinan. Shilla mengendus sebal lalu kembali menghampiri laki-laki bercelana putih biru pendek yang sedang duduk dan (terlihat) gelisah di pojok belakang kelas.
 
Terlihat Shilla kembali berbincang dengan laki-laki itu. entah apa yang mereka lakukan selanjutnya aku tak begitu memperhatikannya. Sampai akhirnya Shilla kembali berada di hadapanku.
 
“Ini dari Alvin. Kata Alvin ini tulus dari hati..”Shilla memberikan secarik kertas yang bila boleh aku tebak kertas ini baru saja mereka sobek secara paksa dari buku tulis Ray yang notabene sahabat Alvin yang juga pemilik bangku yang Alvin duduki sekarang.
 
“Alvin malu kalo ngomong langsung sama lo..” bisik Shilla pelan. Aku hanya tersenyum. Tak di sangka, Alvin yang sering bertingkah arogan dan semaunya sendiri punya malu juga ternyata?
 
Sebelum kubuka lipatan secarik kertas yang baru saja diberikan Shilla, aku melirik ke arahnya. Alvin tersenyum garing dengan kedua telapak tangan yang ia satukan di depan dadanya. Seperti seseorang yang sedang memohon sesuatu.
 
Tanpa babibu lagi, kubuka lipatan secarik kertas itu. tak butuh satu menit untuk membaca apa yang tertulis disana. Hanya ada dua huruf vocal dengan sebuah hati di tengah dua huruf vocal itu. sederhana. Sangat-sangat sederhana.
 
“Jadi gimana Fy?” aku mendongak. Aku lupa Shilla masih ada di depanku. Haha.. aku kembali melirik padanya. Masih sama. Ia masih bertahan dengan senyum garingnya.
 
“Kalau mau liat dia senyum normal. Kamu cepet jawab tuh kertas..”
 
“Aku butuh waktu Shil, tolong bilangin ya..?” tanpa memperdulikan senyum garingnya lagi aku pergi sambil membaca tulisan di kertas tadi
 
I
 
*
 
Tepat seminggu setelah kejadian itu, aku resmi menjadi gadisnya. Dengan desakan teman-teman  dekatku termasuk Shilla akhirnya aku menerima permintaannya. Walaupun tanpa sedikitpun aku libatkan perasaanku untuknya.
 
“Dulu gue yang jadi perantara kalian berdua. Apa sekarang juga harus kayak gitu?” ucapan Shilla kembali menyita perhatianku. Ku alihkan pandanganku pada Sahabatku itu.
 
“Gue gak tau Shil. Apa gue masih pantes bilang sayang sama dia?”
 
“Lo gak boleh bilang gitu Fy. Dulu lo kan punya alasan yang jelas. Alvin pasti ngerti kok” Shilla tersenyum. Kembali mataku menangkap sosok pemuda tinggi itu di sebrang balkon. Dia masih asik bercanda tawa dengan teman-temannya. Dia terlihat bahagia. Apa dia memang sudah melupakanku?
 
“Cara gue dulu menurut lo salah ga?”
 
“Engga. Justru lebih baik begitu. Lo jadi tau kan gimana perasaan lo buat dia sekarang?” benar juga. Sesuatu yang telah terjadi memang tak patut untuk di sesali. Cukup di jadikan cerminan agar tak masuk ke dalam lubang yang sama.
 
*
 
“Tunggu..” terpaksa aku menghentikan langkahku saat tangan kokoh itu menarik pergelangan tanganku dan menahannya. Aku hanya mampu menunduk sambil mencengkram erat tali tasku tanpa sedikitpun ingin menoleh dan menatap wajah pemilik tangan kokoh itu.
 
“Aku Cuma mau tanya soal ini..” laki-laki itu berpindah posisi sambil mengacungkan secarik kertas tepat di hadapanku.
 
“Apa salahku Fy? Ini Cuma main-main kan? Kemarin kita masih baik-baik aja kan?” Aku menggeleng kuat. Laki-laki itu sama sekali tak bersalah. Ia terlalu baik untuk diriku. Untuk seorang gadis yang sama sekali tak melibatkan perasaan dalam hubungan ini. aku tak mau membuatnya semakin mengharap kasih sayang dariku. Karena sampai saat ini aku tak merasakan apapun untuknya. Aku menganggapnya hanya sebagai sahabat.
 
“Terus kenapa?” tanyanya dengan nada yang terdengar putus asa. Aku hanya menunduk. Tak mau menatap manik laki-laki yang sama sekali tak pantas untuk berlaku seperti ini.
 
“Maaf Vin..” terasa sekali hembusan nafas beratnya di keningku.
 
“kamu ngambil keputusan sepihak. Aku belum dan gak akan pernah setuju dengan keputusan yang kamu ambil”
 
“tapi aku gak bisa..”
 
“Aku juga gak bisa mengepas kamu gitu aja. Aku sayang kamu Ify. Lebih dari aku sayang diriku sendiri. Aku Cuma mau tau apa salah aku sampai kamu ngambil keputusan kayak gini” aku terdiam. Entah apa yang harus aku lakukan. Apa harus aku katakana segala yang kini memenuhi di ubun-ubunku?
 
“Kita baru ngejalanin ini seminggu. Kamu kenal aku dari SD Fy. Kamu tau kan aku kayak gimana? Gak semudah itu buat aku jala-”
 
“Justru karna itu. aku kenal kamu dari SD cukup buat aku yakin, aku sama sekali gak punya rasa buat kamu !” telak. Entah benar atau tidak dengan ucapanku tadi. Kini Alvin diam. Tangan kokohnya yang semula melingkar di pergelangan tanganku pun mengendor dan akhirnya dilepaskan.
 
“Aku gak mau kamu lebih kecewa dari ini.. Maaf.. aku Cuma nganggep kamu sebagai sahabat. Gak lebih”
 
“jangan nangis..” sama sekali aku tak berniat mangeluarkan air mataku di depannya. Hanya saja sikapnya yang seperti ini membuatku sangat merasa bersalah. Alvin terlalu baik. Perlahan jemarinya menyusuri lekuk wajahku. Menghapus tetesan air yang baru saja keluar dari mataku.
 
“Aku terima keputusanmu. Aku yakin apa yang kamu lakukan ini memang yang terbaik buat kita berdua” Alvin tersenyum miring. Dalam situasi seperti ini ia masih saja memberiku sebuah senyuman. Walaupun senyum kecewa yang diberikannya untuku.
 
“perlu kamu tau. Aku masih sangat menyayangimu” tanpa ada penolakan lagi seperti beberapa menit yang lalu, akhirnya Alvin pergi. Dan hubungan kami pun berakhir setelah berjalan tujuh hari.
 
*
 
“setelah itu. Alvin bener-bener menjauh. Gue kehilangan dia banget. Dia gak pernah sms gue lagi walaupun buat sekedar basa basi. Dan saat itu gue baru sadar, ternyata gue emang butuh dia karena gue sayang sama dia. penyesalan itu selalu datang belakangan ya Shil?” Shilla mengangguk.
 
“Ya.. tapi lo juga jangan berlarut-larut dalam penesalan” aku mengangguk setuju.
 
“Gue kengen dia. Gue kangen senyumnya. Gue kangen tingkah jailnya. Bahkan gue kangen sms selamat malah yang dulu gak pernah sekalipun absen dari inbox gue” aku tersenyum getir. Mungkin bisa dibilang aku bisa gila bila lama-lama seperti ini.
 
“Gue juga masih inget banget pertama kali dia panggil gue dengan panggilan keramat itu”
 
*
 
Jadinya pergi sendiri-sendiri aja Fy?
 
Sender : Alvin
 
Cukup dengan tiga huruf aku membalas pesan singkat yang baru saja aku terima. Aku tak pernah merasa khawatir Alvin akan marah padaku karena sikapku yang terlalu cuek. Sejak dulu aku memang begitu. dan Alvin pun tau, aku tak suka berbasa-basi dalam sebuah pesan singkat.
 
Beberapa menit kemudian handphoneku kembali berdering. Segara kubuka kontak masuk pesanku.
 
Aku terperanjat, keningku mengkerut. Tiba-tiba saja jantungku berpacu lebih cepat. Kembali ku baca sederet kalimat sederhana itu. ternyata aku memang tak salah baca. 6 huruf yang menyusun sebuah kata keramat itu pun terlihat cantik terpampang di layar handphoneku. Tak aku pungkiri, bibirku kembali membuat sebuah lengkungan.
 
Ya udah. Ketemu disana ya sayang :)
 
Sender : Alvin
 
*
 
“hah? Kok gue baru tau Alvin pernah manggil sayang sama lo?”
 
“Oh ya? Emang gue gak cerita ya? Tapi itupun Cuma sekali Shil, pas gue ketemu dia di rumah bu Anna, dia malah minta maaf. Katanya takut gue marah dia panggil sayang.”
 
“hahaha…”entah kanapa Shilla tiba-tiba tertawa. Apa ucapanku barusan ada yang lucu? Atau mungkin aneh? “Alvin itu emang polos banget ya kalo sama elo. Masa iya elo ngelarang dia manggil elo sayang. Hahaha..”
 
Aku menggelengkan kepalaku. Dasar Shilla. Kembali ku alihkan perhatianku balkon di sebrang sana. Eh? Ko ilang? Alvin mana?
 
“lagi pada ngomongin apa sih? Gue liatin dari sebrang kok kayaknya seru banget sih?” sontak aku menoleh. Senyum yang terukir bersama celotehan Shilla pun sirna Mulutku terbuka terkatup, seperti orang yang ingin bicara tapi tak bisa. Aku kehilangan kata-kata.
 
“Kok bengong?” Alvin menggerakan talapak tangannya ke kiri dank e kanan tepat di depan mataku.
 
“Ehmm.. Shilla, bisa tolong tinggalin gue berdua sama Ify?” aku masih terbengong. Benarkah? Benarkah Alvin meminta Shilla meninggalkan kamu berdua? Hanya berdua?
 
“Oke.. no problem. Fy, gue tunggu di kantin ya?” tanpa sadar aku mengangguk. Mataku masih tertuju pada punggung Shilla yang kian lama kian menjauh seiring dengan langkah kakinya.
 
“Fy..”
 
“ya ? eh ?” entah mengapa kini aku menyesali kepergian Shilla. Aku gugup. Entah harus bagaimana sekarang aku menghadapi Alvin. Bagaimana bila ia marah? Bagaimana bila mengungkit ungkit kembali masa lalu kami?
 
“Aku masih sayang sama kamu..” aku kembali ternganga. Jantungku berdebar kencang. Aku hanya bisa menunduk. Menyembunyikan rone kemerahan di kedua pipiku. Tak mampu aku menatap wajahnya, walau untuk sekedar meyakinkan diriku. Perlahan aku merasakan tangan kokohnya merangkulku. Membawa tubuhku mendekat dengannya. Aku hanya diam.
 
 
 
10 Oktober 2011
 
Fitri Nur Amalia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar