Mataku masih memperhatikan seseorang di balkon sebrang sana.
Bibirku tersenyum. Entah sejak kapan, aku kembali tertarik dengan wajah
itu. senyumnya, tingkah lakunya sama sekali tak berubah. Dengan gayanya
yang sedikit arogan, dengan mudah ia mendapatkan teman dan mengakrabkan
diri dengan mereka. Sangat berbeda seratus delapan puluh derajat
denganku, yang lebih memilih untuk diam dan tak bicara sedikitpun bila
tak kenal dengan siapa pun.
“hey, ngelamun aja.
Pake senyam-senyum segala lagi” aku menoleh, dan mendapati Shilla,
sahabatku yang kini ikut menumpukan sikutnya pada tempok pembatas balkon
tepat di sampingku.
“Oh, pantes aja. Ada dia toh?
Lo beneran suka sama dia?” tanpa ragu aku mengangguk. Shilla, gadis
cantik yang bukan hanya baik hati, gadis yang juga pintar ini adalah
sahabatku sejak aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Shilla adalah
satu-satunya orang yang paling dekat denganku. Mungkin melebihi
kedekatanku dengan orang tuaku. Shilla tau semua tantang apa yang tak
pernah orang lain tau dariku. Maka dari itu, walaupun Shilla hanya
berkata dengan kata ganti ‘dia’ tanpa sedikitpun menyebutkan namanya,
aku tau ‘dia’ yang dimaksud Shilla adalah ‘dia’ yang kini sedang aku
perhatikan.
“Karma itu memang berlaku ya Fy?” aku
terdiam. Kata-kata Shilla tadi mampu menggugah ingatanku kembali ke tiga
tahun lalu tepat tanggal 3 Novermber 2008. saat aku dan dia masih
sama-sama duduk di bangku kelas sembilan.
*
“Aku
mau dia yang bilang sendiri..”ujarku penuh keyakinan. Shilla mengendus
sebal lalu kembali menghampiri laki-laki bercelana putih biru pendek
yang sedang duduk dan (terlihat) gelisah di pojok belakang kelas.
Terlihat
Shilla kembali berbincang dengan laki-laki itu. entah apa yang mereka
lakukan selanjutnya aku tak begitu memperhatikannya. Sampai akhirnya
Shilla kembali berada di hadapanku.
“Ini dari
Alvin. Kata Alvin ini tulus dari hati..”Shilla memberikan secarik kertas
yang bila boleh aku tebak kertas ini baru saja mereka sobek secara
paksa dari buku tulis Ray yang notabene sahabat Alvin yang juga pemilik
bangku yang Alvin duduki sekarang.
“Alvin malu
kalo ngomong langsung sama lo..” bisik Shilla pelan. Aku hanya
tersenyum. Tak di sangka, Alvin yang sering bertingkah arogan dan
semaunya sendiri punya malu juga ternyata?
Sebelum
kubuka lipatan secarik kertas yang baru saja diberikan Shilla, aku
melirik ke arahnya. Alvin tersenyum garing dengan kedua telapak tangan
yang ia satukan di depan dadanya. Seperti seseorang yang sedang memohon
sesuatu.
Tanpa babibu lagi, kubuka lipatan secarik
kertas itu. tak butuh satu menit untuk membaca apa yang tertulis
disana. Hanya ada dua huruf vocal dengan sebuah hati di tengah dua huruf
vocal itu. sederhana. Sangat-sangat sederhana.
“Jadi
gimana Fy?” aku mendongak. Aku lupa Shilla masih ada di depanku. Haha..
aku kembali melirik padanya. Masih sama. Ia masih bertahan dengan
senyum garingnya.
“Kalau mau liat dia senyum normal. Kamu cepet jawab tuh kertas..”
“Aku
butuh waktu Shil, tolong bilangin ya..?” tanpa memperdulikan senyum
garingnya lagi aku pergi sambil membaca tulisan di kertas tadi
I
*
Tepat
seminggu setelah kejadian itu, aku resmi menjadi gadisnya. Dengan
desakan teman-teman dekatku termasuk Shilla akhirnya aku menerima
permintaannya. Walaupun tanpa sedikitpun aku libatkan perasaanku
untuknya.
“Dulu gue yang jadi perantara kalian
berdua. Apa sekarang juga harus kayak gitu?” ucapan Shilla kembali
menyita perhatianku. Ku alihkan pandanganku pada Sahabatku itu.
“Gue gak tau Shil. Apa gue masih pantes bilang sayang sama dia?”
“Lo
gak boleh bilang gitu Fy. Dulu lo kan punya alasan yang jelas. Alvin
pasti ngerti kok” Shilla tersenyum. Kembali mataku menangkap sosok
pemuda tinggi itu di sebrang balkon. Dia masih asik bercanda tawa dengan
teman-temannya. Dia terlihat bahagia. Apa dia memang sudah melupakanku?
“Cara gue dulu menurut lo salah ga?”
“Engga.
Justru lebih baik begitu. Lo jadi tau kan gimana perasaan lo buat dia
sekarang?” benar juga. Sesuatu yang telah terjadi memang tak patut untuk
di sesali. Cukup di jadikan cerminan agar tak masuk ke dalam lubang
yang sama.
*
“Tunggu..”
terpaksa aku menghentikan langkahku saat tangan kokoh itu menarik
pergelangan tanganku dan menahannya. Aku hanya mampu menunduk sambil
mencengkram erat tali tasku tanpa sedikitpun ingin menoleh dan menatap
wajah pemilik tangan kokoh itu.
“Aku Cuma mau tanya soal ini..” laki-laki itu berpindah posisi sambil mengacungkan secarik kertas tepat di hadapanku.
“Apa
salahku Fy? Ini Cuma main-main kan? Kemarin kita masih baik-baik aja
kan?” Aku menggeleng kuat. Laki-laki itu sama sekali tak bersalah. Ia
terlalu baik untuk diriku. Untuk seorang gadis yang sama sekali tak
melibatkan perasaan dalam hubungan ini. aku tak mau membuatnya semakin
mengharap kasih sayang dariku. Karena sampai saat ini aku tak merasakan
apapun untuknya. Aku menganggapnya hanya sebagai sahabat.
“Terus
kenapa?” tanyanya dengan nada yang terdengar putus asa. Aku hanya
menunduk. Tak mau menatap manik laki-laki yang sama sekali tak pantas
untuk berlaku seperti ini.
“Maaf Vin..” terasa sekali hembusan nafas beratnya di keningku.
“kamu ngambil keputusan sepihak. Aku belum dan gak akan pernah setuju dengan keputusan yang kamu ambil”
“tapi aku gak bisa..”
“Aku
juga gak bisa mengepas kamu gitu aja. Aku sayang kamu Ify. Lebih dari
aku sayang diriku sendiri. Aku Cuma mau tau apa salah aku sampai kamu
ngambil keputusan kayak gini” aku terdiam. Entah apa yang harus aku
lakukan. Apa harus aku katakana segala yang kini memenuhi di
ubun-ubunku?
“Kita baru ngejalanin ini seminggu. Kamu kenal aku dari SD Fy. Kamu tau kan aku kayak gimana? Gak semudah itu buat aku jala-”
“Justru
karna itu. aku kenal kamu dari SD cukup buat aku yakin, aku sama sekali
gak punya rasa buat kamu !” telak. Entah benar atau tidak dengan
ucapanku tadi. Kini Alvin diam. Tangan kokohnya yang semula melingkar di
pergelangan tanganku pun mengendor dan akhirnya dilepaskan.
“Aku gak mau kamu lebih kecewa dari ini.. Maaf.. aku Cuma nganggep kamu sebagai sahabat. Gak lebih”
“jangan
nangis..” sama sekali aku tak berniat mangeluarkan air mataku di
depannya. Hanya saja sikapnya yang seperti ini membuatku sangat merasa
bersalah. Alvin terlalu baik. Perlahan jemarinya menyusuri lekuk
wajahku. Menghapus tetesan air yang baru saja keluar dari mataku.
“Aku
terima keputusanmu. Aku yakin apa yang kamu lakukan ini memang yang
terbaik buat kita berdua” Alvin tersenyum miring. Dalam situasi seperti
ini ia masih saja memberiku sebuah senyuman. Walaupun senyum kecewa yang
diberikannya untuku.
“perlu kamu tau. Aku masih
sangat menyayangimu” tanpa ada penolakan lagi seperti beberapa menit
yang lalu, akhirnya Alvin pergi. Dan hubungan kami pun berakhir setelah
berjalan tujuh hari.
*
“setelah
itu. Alvin bener-bener menjauh. Gue kehilangan dia banget. Dia gak
pernah sms gue lagi walaupun buat sekedar basa basi. Dan saat itu gue
baru sadar, ternyata gue emang butuh dia karena gue sayang sama dia.
penyesalan itu selalu datang belakangan ya Shil?” Shilla mengangguk.
“Ya.. tapi lo juga jangan berlarut-larut dalam penesalan” aku mengangguk setuju.
“Gue
kengen dia. Gue kangen senyumnya. Gue kangen tingkah jailnya. Bahkan
gue kangen sms selamat malah yang dulu gak pernah sekalipun absen dari
inbox gue” aku tersenyum getir. Mungkin bisa dibilang aku bisa gila bila
lama-lama seperti ini.
“Gue juga masih inget banget pertama kali dia panggil gue dengan panggilan keramat itu”
*
Jadinya pergi sendiri-sendiri aja Fy?
Sender : Alvin
Cukup
dengan tiga huruf aku membalas pesan singkat yang baru saja aku terima.
Aku tak pernah merasa khawatir Alvin akan marah padaku karena sikapku
yang terlalu cuek. Sejak dulu aku memang begitu. dan Alvin pun tau, aku
tak suka berbasa-basi dalam sebuah pesan singkat.
Beberapa menit kemudian handphoneku kembali berdering. Segara kubuka kontak masuk pesanku.
Aku
terperanjat, keningku mengkerut. Tiba-tiba saja jantungku berpacu lebih
cepat. Kembali ku baca sederet kalimat sederhana itu. ternyata aku
memang tak salah baca. 6 huruf yang menyusun sebuah kata keramat itu pun
terlihat cantik terpampang di layar handphoneku. Tak aku pungkiri,
bibirku kembali membuat sebuah lengkungan.
Ya udah. Ketemu disana ya sayang :)
Sender : Alvin
*
“hah? Kok gue baru tau Alvin pernah manggil sayang sama lo?”
“Oh
ya? Emang gue gak cerita ya? Tapi itupun Cuma sekali Shil, pas gue
ketemu dia di rumah bu Anna, dia malah minta maaf. Katanya takut gue
marah dia panggil sayang.”
“hahaha…”entah kanapa
Shilla tiba-tiba tertawa. Apa ucapanku barusan ada yang lucu? Atau
mungkin aneh? “Alvin itu emang polos banget ya kalo sama elo. Masa iya
elo ngelarang dia manggil elo sayang. Hahaha..”
Aku menggelengkan kepalaku. Dasar Shilla. Kembali ku alihkan perhatianku balkon di sebrang sana. Eh? Ko ilang? Alvin mana?
“lagi
pada ngomongin apa sih? Gue liatin dari sebrang kok kayaknya seru
banget sih?” sontak aku menoleh. Senyum yang terukir bersama celotehan
Shilla pun sirna Mulutku terbuka terkatup, seperti orang yang ingin
bicara tapi tak bisa. Aku kehilangan kata-kata.
“Kok bengong?” Alvin menggerakan talapak tangannya ke kiri dank e kanan tepat di depan mataku.
“Ehmm..
Shilla, bisa tolong tinggalin gue berdua sama Ify?” aku masih
terbengong. Benarkah? Benarkah Alvin meminta Shilla meninggalkan kamu
berdua? Hanya berdua?
“Oke.. no problem. Fy, gue
tunggu di kantin ya?” tanpa sadar aku mengangguk. Mataku masih tertuju
pada punggung Shilla yang kian lama kian menjauh seiring dengan langkah
kakinya.
“Fy..”
“ya ? eh ?”
entah mengapa kini aku menyesali kepergian Shilla. Aku gugup. Entah
harus bagaimana sekarang aku menghadapi Alvin. Bagaimana bila ia marah?
Bagaimana bila mengungkit ungkit kembali masa lalu kami?
“Aku
masih sayang sama kamu..” aku kembali ternganga. Jantungku berdebar
kencang. Aku hanya bisa menunduk. Menyembunyikan rone kemerahan di kedua
pipiku. Tak mampu aku menatap wajahnya, walau untuk sekedar meyakinkan
diriku. Perlahan aku merasakan tangan kokohnya merangkulku. Membawa
tubuhku mendekat dengannya. Aku hanya diam.
10 Oktober 2011
Fitri Nur Amalia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar