About US [12] Bukan Siapa Siapa..
Ify masih duduk di beranda rumahnya. Langit pagi yang cerah turut
menemani senyum cantik gadis ini. Ify masih belum berniat mengenakan
sepatunya. Hari ini ia bangun terlalu pagi. Jam enam Ify sudah duduk
siap di depan rumahnya. Biasanya Rio akan menjemputnya pukul setengah
tujuh pagi. Masih ada waktu setengah jam untuknya bersantai.
Memang sejak beberapa minggu ini Rio selalu menjemput Ify untuk
pergi ke sekolah bersama. Malah dulu Rio pernah ngotot untuk
mengantarkannya pulang juga. Ify sempat menolak, tapi tetap saja
laki-laki itu ngotot dan tiba-tiba saja muncul di depan rumahnya. Mau
tak mau Ify harus ikut juga dengan Rio. Ify jadi tak enak sendiri.
Rumahnya dan rumah Rio bisa dibilang dari Utara ke Selatan. Rio harus
melewati sekolah mereka dulu untuk sampai ke rumah Ify dan akhirnya
kembali lagi ke sekolah. Akhirnya Ify setuju Rio menjemputnya, tetapi
tidak mengantarnya pulang.
Shilla benar, selama ia dekat dengan Rio, laki-laki itu tak pernah
mengecewakannya. Rio selalu ada untuknya saat ia bersedih, saat ia tak
tahu harus melakukan apa, dan juga saat Ify mulai menyerah untuk
menemukan alamat rumah Alvin.
Ify ingat betul saat Rio tiba-tiba muncul dengan permen kapas di
tangannya saat Ify kembali bersedih saat melihat ibunya menangis
diam-diam. Rio dengan eskrimnya datang menemani Ify yang kesepian. Rio
dengan sabarnya menemani Ify mencari tahu tantang keluarga Alvin. Dan
yang paling ia ingat, Rio datang dengan boneka taddy bear besar berwarna
ungu saat Ify mulai putus asa mencari alamat rumah Alvin.
“Hey cantik.. kok cemberut sih?” Ify mendongak dan sedikit
terlonjak kaget saat menemukan boneka taddy bear seukuran tubunya berada
di sampingnya. “Lagi mikirin apa sih cantik?”
Ify tersenyum kala mendengar suara dibalik taddy bear besar itu. Suara itu yang akhir-akhir ini selalu menemaninya.
“Ayo katakana pada beruang pengakuan.” Ify makin tergelitik saat
suara itu menirukan nada suara salah satu kartun yang biasa di tontonnya
setiap pagi. Ify sedikit terkikik. Ify yakin, dibalik boneka itu pasti
ada Rio.
“Nah, kan cantik kalau senyum gitu Fy.” Benar saja. Kini kepala Rio
menyembul dari balik boneka besar itu. Laki-laki itu tersenyum, membuat
Ify ikut tersenyum juga. “Kenapa? Mau cerita?”
Ify kembali menunduk. Sudah memasuki hari keempat belas Ify mencari
tahu tentang Alvin dan keluarganya. Dan hasilnya nihil. Ketidak
tahuannya selama ini benar-benar menyusahkan Ify. Entah kenapa Ify tak
pernah sengaja bertemu dengan Pratama atahu Alvin. Mereka bagai ditelan
bumi. Hilang entah kemana.
“Gue gak tahu lagi harus cari Om Tama dan Kak Alvin kemana lagi Yo.
Gue sedih benget liat mama yang diem-diem sering banget nangis. Gue
cape ngadepan ini sendirian.” Rio menatap wajah gadis cantik di depannya
ini. Mata Ify mulai berkaca-kaca. Rio tahu, ini tidaklah mudah. Melihat
orang tua bersedih apalagi menangis adalah hal yang menyakitkan.
Hatinya ikut terenyuh. Dadanya mencelos melihat Ify yang seperti ini.
Perhalan, Ify mengenggenggam tangan kanan Ify, lalu diusapnya
pelan. “Lo gak boleh nyerah gitu aja Fy. Gue yakin, lo pasti bias
nemuin mereka. Gue pasti akan bantu lo. Lo gak sendiri. Masih ada gue
yang akan selalu ada buat lo.” Rio tersenyum sambil kembali mengelus
punggung tangan gadis itu.
“Gue akan dapetin alamat mereka buat elo. Gue janji Fy.” Ify
tersenyum. Entah mengepa ia sangat percaya pada kata-kata laki-laki ini.
Rio mengusap pipinya lembut. Menghapus bening air mata yang ada di pipi
gadis itu.
“Senyum.. gue gak suka liat bibir lo ke depan kayak tadi.” Ify cemberut. Diratiknya tangannya dari tangan Rio.
“Nyebelin..”Rio tertawa. Ify jadi ingat Rio membawa boneka besar. Boneka itu masih ada di pelukan Rio.
“Boneka siapa tuh Yo? Gede banget?”
“Boneka elo.”
“Gue?”
“Iya. Kemarin gue nemenin Shilla beli kado buat temennya, gue liat
boneka ini. Kok gue jadi inget sama lo ya waktu itu. Akhirnya gue beli.
Ya, walaupun gue gak tahu elo suka atahu engga.”
“Sumpah ini buat gue?” Rio menganggu. Ify masih tak percaya. Boneka sebesar ini kan pasti harganya mahal. “Yo, ini kan mahal..”
“Udah gak papa. Karna elo pasti kerepotan bawa boneka ini pulang.
Gue anter elo pulang ya?” Ify mengangguk dan akhirnya tersenyum.
“Thanks ya Rio..”
Boneka taddy ungu itu sekarang resmi menjadi penghuni kamar Ify.
Rio memang selalu bisa membuatnya merasa senang. Merasa nyaman saat ia
berada di dekatnya. Dia selalu tahu apa yang Ify suka. Dari mulai
makanan kesukaan Ify, minuman, sampai hal-hal kecil yang biasanya tak
akan diketahui orang yang baru mengenalnya beberapa bulan yang lalu.
Entah dari mana laki-laki itu tahu. Ify yakin Shilla tak
mengenalnya sedetil itu. Mungkin hanya Prissy yang begitu mengenalnya.
Tapi Prissy dan Rio cenderung tak saling kenal. Yang Ify tahu, Rio
selalu berkata ‘feeling gue bilang elo pasti suka.’
Getar handphone di saku roknya membuyarkan lamunannya. Ify segera
merogoh saku roknya dan meraih handphonenya. Ify tersenyum saat melihat
nama yang tertera pada layar handphonenya
Rio
Fy, gue telat bangun. Kayaknya gue gak bakalan sempet jemput lo nih. Sorry :(..
Sender : Rio
Ify mengangkat alisnya. Disaat ia bangun terlalu pagi, Rio malah
kesiangan. Ya sudah, bagaimana lagi? Ify cepat-cepat memakai sepatunya.
Walaupun harus naik kendaraan umum, Ify tak akan kesiangan karna ini
masih pukul enam lebih dua puluh menit.
***
Setelah membayar ongkos angkot yang membawanya sampai ke sekolah,
Ify cepat-cepat melangkah masuk melalui gerbang utama sekolahnya. Untung
saja Rio member tahunya lebih awal bahwa laki-laki itu tak akan
menjemputnya. Ify sampai tepat pukul tujuh kurang lima belas menit.
“Thanks ya Yo…”
Ify tiba-tiba saja ingin menoleh pada sumber suara itu. Ify kenal
betul dengan dua orang disana. Vara, sekretaris osis sekolahnya dan
Rio..
Tiba-tiba dadanya terasa sesak. Seolah-olah seluruh oksegen yang
ada di muka bumi ini lenyap seketika. Rio dan Vara? Itulah sebenarnya
yang membuat Rio tak bisa menjemputnya?
Tanpa sadar, langkah kakinya membawa Ify lebih dekat dengan Rio.
Senyum Rio untuk Vara yang telah pergi pun lenyap seketika saat melihat
Ify mendekatinya.
“Kenapa lo gak jujuraja Yo? Lo mau berangkat bareng Vara kan?”
Perih. Baru kali ini Ify merasa seperti ini. Seumur hidup Ify belum
pernah merasa kecewa melihat seorang laki-laki sedang bersama perempuan
lain.
Rio menatap Ify lalu melirik Vara yang sudah pergi menjauh, kembali lagi menatap Ify.
“Gu.. guee.. tadi Vara..”
“Kalau lo jujur, gue lebih enak nerimanya Yo..” gadis itu pergi
meninggalkan Rio dengan langkah lebar dan cepat. Entah apa yang
membuatnya sangat kecewa melihat Rio dengan Gadis lain. Vara. Gadis itu
memang cantik, pintar, pandai bergaul dan tidak sombong. Pentas saja
banyak laki-laki tertarik padanya.
Tapi, kenapa harus Rio?
Apa? Cemburu? Mungkinkah ia sedang cemburu?
“Fy, elo salah paham.” Ify merasa lengannya di tarik. Dan
berdirilah Rio di hadapannya. Ify mendunduk. Ia benar-benar sedang tak
ingin melihat Rio sekarang. Kalau memang ia cemburu, sesakit inikah?
Kenapa justru Rio melirik perempuan lain setelah Ify merasa jatuh cinta
dapa pemuda itu?
“Apa yang gue liat itu kenyataannya Yo.” Ify menghempaskan tangannya kasar. Ia kembali berjalan secepat ia bisa.
Ify tahu Rio masih mengejarnya, berusaha meraih lengannya dan
menyerukan mananya. Tapi Ify tak peduli. Hatinya terlanjur sakit.
Pertama jatuh cinta, malah terasa begitu perih. Sampai akhirnya, Ify tak
lagi menedengar suara Rio memanggilnya satelah ia sampai di kelasnya.
***
“Fy, ada Rio tuh nunggu diluar.” Ify hanya melirik sebentar kea rah
pentu masuk kelasnya. Setelah beberapa saat bel istirahat berbunyi
nyaring, Ify tahu Rio ada di depan kelasnya. Ditambah dengan banyanya
pesan masuk yang Rio kirim untuknya sejak tadi.
“Fy, elo ada masalah sama Rio?” Prissy melirik Rio. Kasihan juga
melihat Rio berdiri di depan kelasnya. Laki-laki itu tak berani masuk.
“Pris, apa jatuh cinta itu harus sakit dulu?” sepertinya Prissy mengerti apa yang terjadi antara sahabatnya ini dengan Rio.
“Lo lagi jatuh cinta?” tanyanya hati-hati. Ify hanya menggeleng. Ia
tak pernah tahu rasanya jatuh cinta. Ia tak pernah mengerti apa yang
namanya jatuh cinta. “Lo jatuh cinta sama Rio?”
Ify kembali menggelang. Ia benar-benar tidak tahu dengan semua yang
terjadi pada dirinya. Tiba-tiba ia meresa nyaman berada di dekat Rio,
merasa aman. Tetapi juga merasa sakit kala melihat pemuda itu bersama
orang lain.
Mungkin memang akan berbeda ceritanya bila Rio tak mengirimkan
pesan singtat itu padanya tadi pagi. Mungkin ceritanya akan lain bila
Rio berkata jujur. Tapi kenyataannya, Rio memberi keterangan yang
berbeda dengan apa yang dilihatnya.
“Gue gak tahu Pris.”
“Mmangnya Rio salah apa sama lo?”
Rio salah apa? Pertanyaan itu seolah membuka jalan pikirannya.
Benarkah Rio melakukan kesalahan? Apa haknya melarang Rio dekat dengan
perempuan lain? Itu urusan Rio kalau memang laki-laki itu berbohong
padanya. Kenapa Ify harus bersikap seperti ini? Rio bukan siapa-siap.
Rio hanya teman yang selalu ada di sampingnya. Teman? Haruskah hanya
sebagai teman?
“Cemburu itu wajar. Tapi, sebaiknya elo dengerin penjelasan Rio
dulu.” Darimana Prissy tahu tentang rasa yang orang katakan cemburu
sedang menggerogoti hatinya? Prissy tersenyum. Ia dapat menangkap
keheranan di wajah Ify.
“Tadi pagi gue sempet liat Rio bonceng Vera. Sampai ke kelas, elo kelihatan murung. Ya gue ambil garis merahnya deh.”
Keduanya terdiam. Ify melirik Rio sebentar, lalu pandangannya beralih pada ponsel di tangannya.
‘Sorry Yo. Gue gak bisa liat lo sama cewek lain.’
***
“Fy, tunggu sebentar.” Ify kembali menoleh saat suara Shilla terdengar memanggilnya.
“kenapa Shil?” Shilla cepat-cepat memasukan buku-bukunya ke dalam
ranselnya. Setelah selesai, Shilla menghampiri Ify yang berdiri beberapa
langkah di depannya.
“Emm.. lo temenin gue disini yaa. Sebentar aja.” Ify mengerutkan kening.
“Emangnya ada apa? Elo gak langsung pulang?”
Shilla sedikit menggigit bibir bawahnya. Tangannya dengan erah
memegangi tali ranselnya. Tak lama Shilla malah memamerkan gigi
putihnya.
“Elo kenapa sih Shil?”
“Please, temenin gue disini. Sebentar ajaa..” bukannya Ify
tak mau. Biasanya juga Ify sering menemani Shilla menunggu Rio. Tapi,
mamanya meminta Ify pulang cepat.
“Nyokap gue minta gue pulang cepat Shil. Sorry banget nih.”
“Fy, sebentar aja. Lima menit dehh.”
“Oke. Lima menit ya Shil..” Ify kembali duduk di bangkunya.
Lama-lama Ify risih juga melihat Shilla mondar mandiri di depannya.
Sebenarnya Shilla menunggu apa sih? Sejak tadi matanya tak lepas melihat
kea rah pintu masuk ruang kelasnya.
Atahu jangan-jangan?
“Shil, elo gak nahan gue buat ketemu sama Rio kan?” Shilla sempat
menegang. Ia hanya bisa menggingit bibir bawahnya lalu tersenyum garing
menanggapi pertanyaan Ify.
“Kalau memang itu yang bikin elo nahan gue, sorry gue gak bisa.” Ify cepat beranjak. Namun tangan Shilla Manahan tangannya.
“Ify, please.. sebentar aja. Rio mau ngejelasin semuanya.”
“Udah lah Shil. Gak ada gunanya juga elo maksa-maksa gue. Gue gak bisa ketemu sama Rio.”
“Kenapa Fy?” keduanya sontak menoleh. Rio muncul dari ambang pintu kals Ify dan Shilla. Ify terdiam. Ia kembali menunduk.
“Gue minta maaf tadi pagi gue gak bisa jemput lo.”
“Elo bukan supir gue. Lo gak punya kewajiban buat jemput gue.” Jawabnya ketus. Rio hanya bisa menghela nafas.
“Elo salah paham. Tadi pagi gue mamang kesiangan. Gue gak ada
niatan buat pergi bareng Vara. Gue sama dia ketemu di jalan. Di
pertigaan depan. Sumpah Fy, gue gak mungkin bohong sama lo.” Rio
berusaha meraih pergelangan Ify. Namun belum sempat ia raih, Ify sudah
menariknya terlebih dahulu.
Ify menarik nafas panjang. Ia menutup matanya sebantar, lalu mendongak dan menatap Rio.
“Gue yang harusnya minta maaf. Gue gak punya hak untuk bersikap
seperti ini sama lo. Gue harusnya sadar, mau ello bareng siapa kek. Itu
bukan urusan gue. Lo kan bukan siapa-siapa gue. Buat apa gue marah? Yak
kan? Gue pulang duluan ya.” Walaupun Ify pergi dengan tersenyum, Rio dan
Shilla tahu itu bukan senyum tulus dari seorang Ify Alyssa. Rio hanya
bisa memandang punggung gadis itu berlalu pergi meninggalkannya. Semakin
jauh, semakin terasa sakit.
Elo bukan siapa-siapa gue.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar