Aku duduk sendiri di taman tempat aku bertemu dengan Kiki. Aku menopang dagu di atas kaki yang aku lipat dan ku peluk dengan kedua tanganku. Aku manatap langit senja yang berwarna oranye di padu dengan banyaknya burung-burung yang berterbangan manghiasi langit sore itu. Ayu yakin, siapa pun yang melihat pemandangan ini pasti akan terkagum-kagum. Tapi untukku ini hari ini terlalu kelam untuk melihat indahnya senja pada hari ini.
Tanpa aku sadari butiran-butiran air yang keluar lewat mataku yang sudah berkaca-kaca jatuh membasahi pipiku. Mengingat kejadian hari ini membuat butiran-butiran itu jatuh semakin deras. Dari mulai pertemuanku dengan Osa, surat dari Kiki, sampai aku mengetahui tentang penyakit sialan yang menyerang tubuh kakakku.
“KENAPA SEMUA INI HARUS TERJADI ?? KENAPA ??”, aku berteriak sekencang mungkin untuk sedikit melepas beban yang ada di hatiku.
Entah mengapa hari ini taman sangat sepi. Tak ada seorangpun yang melintas di depanku. Bahkan aku tak melihat seorang pun ada di taman itu kecuali aku. Tapi ini baik untukku. Aku bisa melampiaskan perasaanku saat ini.
Sesekali aku berharap Kiki datang menghampiriku dan menghiburku seperti saat aku bertemu dengannya. Di tempat ini dengan keadaan menangis. Saat itu aku kesal pada kak Alvin kerena selalu mendapat perhatian lebih dari mama dan papa. Tapi itu semua tak mungkin, Kiki sudah tiada.
Sekarang, aku malah menyesal. Kak Alvin memang harus mendapat perhatian lebih dari kami, sebagai keluarganya. Ingin rasanya aku menggantikan posisi kak Alvin sekarang. Biar saja aku yang merasakan bagaimana penyakit itu menyerang tubuhku dari pada aku harus terus tersiksa dengan semua perasaan bersalah.
“…Aku jatuh cinta…kepada dirinya.. sungguh-sungguh cinta oo apa adanya..” terdengar suara sayup-sayup lagu favoritku dari dalam tasku. Aku meraih tas yang ak simpan di sebelahku dan mengambil handphoneku dari dalamnya.
1 masagge received
----
From : Mama
Semakin buruk
----
Hatiku menjadi semakin tak tenang setelah membaca pesan singkat dari mama. Aku tak tau harus bagai mana. Hatiku ketar-ketir. Aku panik. Aku segera meraih tasku dan pergi meninggalkan tempat ini.
Aku berlari tergesa-gesa melewati lorong rumah sakit yang tersa sangat jauh untuk menuju kamar kak Alvin. Aku terus berlari sekencang mungkin, tak jarang aku menabrakorang-orang yang juga sedang berlalu lalang disana. Dan membuat orang orang itu ngomel ngomel.
Akhirnya aku sampai di depan kamuar kak Alvin. Perlahan aku membuka pintu kamar rawat kak Alvin. Mama dan papa menolah ke arahku. Kak Alvin juga, ia memberikan senyuman termanis yang belum pernah ak lihat sebelumnya. Aku pun ikut tersenyum.
“Shil, papa sama mama pulang dulu ya. Kamu jaga dulu Alvin ya”. Aku mengangguk. Papa dan mama pun pergi. Aku menghampi tempat tidur kak Alvin dan duduk di kursi yang tadi diduduki mama.
“gimana keadaan kamu ??”, tamya kak Alvin tiba-tiba saat aku baru duduk . seharusnya aku yang menanyakn hal itu pada kak Alvin.
“Keadaan Shilla?”, tanyaku. Kak Alvin mengangguk mantap. “Keadaan Shilla baik kok kak. Harusnya Shilla yang tanya keadaan kakak”, kataku sambil tersenyum.
“Mata kamu sembab. Habis nangis ya ??”. aku menggeleng. Mungkin aku menggeleng, tapi aku yankin kak Alvin tau aku habis menangis.
“Keadaan aku memburuk. Dokter bilang penyakit ini terus menyebar di dalam tubuh Kakak”. Aku terkejut. Hatiku miris, tapi dengan santainya kak Alvin bisa mengatakan tertang kabar buruk yang menimpa dirinya. “Jangn sedih.. jangan sampe kakak nyesel sudah ngasih tau tentang semua ini”. Kak Alvin membelai rambutku. Ini pertama kalinya kak Alvin membelai rambutku. Dan tangan yang satunya lagi mengusap mataku yang mulai berkaca-kaca.
“Kakak tau. Kak Alvin adalah kakak terbaik yang pernah Shilla punya”
“Kakak kamu kan Cuma satu. Jadi ya pasti aku yang terbaik”, canda kak Alvin. Dia tertawa. Melihatnya tertwa lepas seperti ini rasanya hatiku senang. Masih sempat kak Alvin bercanda dalam keadaan seperti ini. Padahal sebelumnya kak Alvin sangat dingin.
“Eh,, mmm.. maksudnya kakak adalah orang terbaik yang pernah Shilla kenal”
“Aku orang terbaik ?”. aku mengangguk yakin. Kak Alvin menatapku lekat. “kakak bukan orang yang terbaik”. Aku mengerutkan dahiku. “kalau nanti kakak udah gak sama kalian lagi, kaka titip mama sama papa ya. Jagin mereka. Kamu juga jaga diri kamu”dia tersenyum. Setelah aku mengatahui semuanya, kak Alvin jadi lebih sering tersenyum.
“Bukan Shilla lah kak yang jagain mama papa, kakak yang akan jaga kami. Kak mau jeruk ?”, aku mengganti topik pembicaraan karena aku sudah merasa tak nyaman dengan apa yang dibicarakan kak Alvin.
“Mau mau… jarang nih bisa disuapin sama kamu”.
“yeh… emang siapa yang mau myuapin kakak? Shilla kan Cuma nawarin aja, kupas sendiri ya”. Aku memberikan sebuah jeruk pada kak Alvin. Kak Alvin cemberut.
“Yah kok gitu sih. Kupasin dong!!!”, kak Alvin memberikan jeruk itu padaku.
Aku tertawa melihat perubahan raut wajah kak Alvin.
“hehehe.. iya iya.. sini aku kupasin” aku kembali membawa jeruk itu dari tangan kak Alvin dan mengupasnya.
***
Hari ini kak Alvin pulang dari rumah sakit. Keadaannya memang sudah membaik dari sebelumnya, walau penyakitnya terus saja berkembang.
“Selamat datang di rumah kak….”. aku menyambut kedatangan kak Alvin dengan dua balon di tangan ku. Kak Alvin tersenyum.
“Makasih ya Shill…”. Kak Alvin megacak-ngacak poniku.
“Ih kebiasaan nih!!!” protes ku. Memang setelah aku tau tentang penyakit kak Alvin, kami menjadi lebih akrab. Kak Alvin lebih perhatian padaku dan aku lebih perhatian lagi pada kak Alvin. Dan akhir-akhir ini kak Alvin sangat hobi mengacak-ngacak poniku.
“Shill, anter Alvin ke kamar ya”, pinta mama. Aku mengangguk, dan aku langsung menyimpan balon yang ada di tanganku dan melilitkan tangan pada tangan kak Alvin dan menuntunnya pergi ke kamar.
Ini kali pertamanya aku masuk lagi ke kamr kak Alvin. Suasana kamarnya sangat berbeda dengan saat terakhir aku masuk ke kamar ini. Kalau tidak salah aku terakhir masuk ke sini saat aku kelas 3 smp. Semenjak itu kak Alvin selalu melarangku untuk masuk ke kamar ini. Dan itu pun menjadi awal kelesalan ku pada kak Alvin.
“Kenapa Shill? Aneh ya liat kamar kakak?” tanya kak Alvin.
Aku memang bengong saat membuka pintu dan masuk.”Eng… gak kok kak. Shilla pangling aja”. Mataku kembali berkeliling melihat seluruh sudut di kamar itu sambil terus berjalan menuju tempat tidur.
“kenapa kakak dulu kakak larang Shilla masuk kamar ini ?”
“Karena saat itu kakak sudah mengidap penyakit ini”
“emangnya apa hubunganya penyakit sama kamar?”
“kakak gak mau kamu liat obat-obat kakak berantakan. Dan kakak gak mau kamu melihat noda-noda darah yang ada di baju atau selimut kakak”.
Aku baru mengerti sakarang. Di balik sikapnya kak Alvin yang cuek, ternyata kak Alvin tetap sayang dan tak mau melihatku khawatir.
“Shill kakak mau ke taman dong” pinta kak Alvin.
“Lho? Kakak baru sembuh. Di luar banyak angin kak!”
“Ayolahh.. kakak Cuma mau nikmatin pemandangannya doang kok” kak Alvin terus meminta. Tapi aku tak bisa. Memang keadaan kak Alvin sudah membaik. Tapi keadaannya pun belum bisa ditebak. Sekarang bisa saja kak Alvin terlihat sehat. Tapi apa yang akan terjadi nanti tak ada yang tau? Kak Alvin bisa tiba-tiba drop.
“Setelah dari taman, janji deh langsung pulang” kak Alvin terus mendesakku. Aku hanya bisa menggeleng, karena aku tidak mau hal yang buruk terjadi pada kak Alvin.
“Shill, ini permintaan kakak yang terakhir” kak Alvin memegang tanganku dan memandangku dengan tatapan penuh arti.
“Tapi kak,,,”
“Ayolah.. permintaan terakhir Shill, permintaan terakhir”. Aku semakin bingung. Apa maksud permintaan terakhir? Aku melihat wajah kak Alvin yang sudah terlihat memelas.
“Ya udah Shilla anter. Tapi kakak harus janji, gak akan ada yang terjadi sama kakak. Kakak harus sehat”. Kak Alvin tersenyum lalu menarik tanganku.
***
Kami duduk di hamparan rumput hijau dan menghadap ke arah kolam kecil buatan itu. Ini memang tempat dimana pertama kali aku bertemu dengan Kiki, sekaligus tempat dimana aku bisa menemui Kiki selama enam bulan terakhir ini. Mataku sudah berkaca-kaca saat mengingat moment-momentku bersama Kiki. Kenangan kita berdua di tempat ini.
“Shill, kok nangis?”. Aku baru sadar kak Alvin memandang ke arahku. Tangan kak Alvin merangkul pundakku. Aku menyandarkan kepalaku pada bahu kak Alvin. Ini adalah saat-saat terdekat kau dengan kak Alvin.
“Kakak gak mau ya liat cewek manis seperti kamu menagis”. Kaya-kata kak Alvin tadi mengingatkanku akan Kiki. Walau sikapku cuek padanya, dia tak pernah menyerah untuk menghiburku.
“Kenapa ?”
“Karena aku tak bisa melihat gadis manis sepertimu menangis”. Aku semakin terkejut. Kenapa bisa kata-kata kak Alvin sangat mirip dengan kata-kata yang pernah Kiki katakana padaku.
“Kenapa ? kamu bingung?” tanya kak Alvin padaku. Aku mengangkat kepalaku dari bahu kak Alvin, dan memandang ke arah kak Alvin.
“Shilla sayang sama kakak”. Itulah yang keluar dari mulutku. Aku langsung memeluk kak Alvin. Kenapa aku merasa aku jauh dengan kak Alvin, padahal saat ini aku sanagt dekat dengan kak Alvin.
“Kakak juga sayang sama kamu Shilla”
“Kakak emang kakak terbaik buat Shilla. Kakak gak akan pernah terganti dan akan selalu menjadi kakak yang yang terbaik. Shilla juga akan selalu berusaha menjadi adik yang baik untuk kakak”
“Kakak akan terus mengingatmu walau nanti kita udah ada di dunia yang berbeda. Dan teruslah tersenyum dan jadilah Shilla yang tegar, walau nanti kakak gak ada di samping kamu lagi”
Butiran-butiran itu jatuh lagi. Mengapa aku merasa makin jauh dari kak Alvin? Pelukanku belum aku lepas. Aku masih ingin memeluk kakakku yang aku rasa sangat jauh.
“Shilla janji takan pernah lupa untuk mengingat kakak” aku berbisik di telinga kak Alvin. Butiran air mataku semakin lama semakin deras dan membasahi baju kak Alvin.
“Tak usah membuat janji yang tak bisa kau penuhi” bisik kak Alvin. “Itukan yang kamu katakana untuk temanmu itu? siapa namanya? Kiki?”. Aku semakin bingung. Dari mana kak Alvin tau tentang Kiki?
Bahuku terasa berat. Kepala kak Alvin menyender di bahuku.
“Kakak tau dari mana tentang Kiki?” tanyaku sambil meletakan kepalaku di kepala kak Alvin yang bersandar di bahuku.
Kak Alvin tak menjawab. Satu . . . dua . . .tiga detik aku menunggu jawabam dari kak Alvin. Tapi tetap tak ada jawaban darinya.
“Kakak?” tanyaku lagi. Tapi tetap saja tak ada jawaban. Dan akupun diam. Mungkin kak Alvin belum mau menjawab. Tapi lama-lama pundaku terasa basah. Apa kak Alvin menagis? Tidak. Tak ada isakan darinya. Tapi, lalu apa yang terjadi? Makin lama semakin terasa basah. Dan akhirnya aku mencoba bertanya lagi.
“Kak Alvin tau dari mana tentang Kiki?”. Tetap tak ada jawaban. Aku masih tetap kakak kesayanganku ini. “Kak Alvin?’ panggilku lagi. Dan hasilnya sama. Tak ada jawaban darinya. Akhirnya aku melepas pelukanku. Dan apa yang terjadi?
Aku shock… air mataku kembali menetes. Hatiku miris saat melihat darah segar mengalir dari hidung kak Alvin.
“Kak Alvin.. KAK!! Kakak!!”aku panik. Aku bingung harus berbuat apa. Aku kembali mengguncangkan badan kak Alvin sambil menyebut namanya. Aku belum siap untuk kehilangan lagi.
***
Aku, mama, dan papa menungu di depan ruang UGD. Mama terus saja menangis, aku berusaha tegar. Tapi tetap saja air mataku tak terbendung.
“Ma ini semua salah Shilla” ucapku dengan suara yang bergetar. Aku sangat merasa bersalah.
“Ini bukan salah kamu. Ini semua takdir sayang..”. mama memeluku. Dan tubuhku semakin bergetar hebat.
Tak lama seorang dokter keluar dari ruang UGD. Dokter itu tersenyum. Lalu memandang ke arah kami.
“Sekarang Alvin sudah sadar”. Kami semua tersenyum bahagia. “Tapi kondisinya semakin buruk. Penyakitnya terus berkembang dalam tubuhnya”.
“Dok apa Shilla boleh ketemu sama kak Alvin?” tanyaku kepada dokter itu.
“Ya semuanya boleh masuk. Tapi biarkan Alvin istirahat”
Aku , mama, dan papa langsung masuk ke dalam ruang UGD. Aku langsung memeluk erat kak Alvin yang masih terbaring lemah di atas tempat tidurnya.
“Hey hey,, kok nagis?” kata kak Alvin saat aku memeluknya.
“Kakak jahat ! katanya kakak akan baik-baik aja. Katanya kakak mau langsung pulang ke rumah. Mana ? kak Alvin masuk rumah sakit lagi kan ?”
“Shilla, biarkan kakakmu istirahat nak. Jangan berbuat seperti itu” papa menarik tubuhku yang dari pelukan kak Alvin.
“Shilla gak mau jauh dari kakak”jawabku dengan suara yang bergetar.
“Kakak gak akan pernah jauh dari kamu. Kakak akan selalu ada di dalam hatimu”
Hatiku semakin tak karuan. Hatiku miris saat melihat keadaan kak Alvin saat ini. Aku tak bisa lagi menahan air mataku walau kak Alvin terus menguatkan ku.
“Aku gak apa-apa” kata kak Alvin sambil mengelus pipiku.
“Kakak bikin aku panik setengah mati tau!” kataku dengan nada ketus.
“Maaf. Tapi aku gak apa-apa. Oh ya… aku punya sesuatu untukmu”
“Apa?”
“Kamu sekarang pulang. Masuk ke kamar aku. Buka laptop aku dan buka folder yang namanya ‘Untuk Shilla’ ”. Aku mengangguk.
“Ya udah. Cepet pulang sana!!”
“Iya iya” aku pun keluar meninggalkan kamar rawat kak Alvin dan pulang.
***
Sesampainya di rumah, aku langsung pergi menuju kamar kak Alvin. Mencari laptop kak Alvin dan menyalakannya. Dan akhirnya aku menemukan folder yang aku cari.
___
Dear Shilla
Hai Shill… gue mau minta maaf sama lo. Gua udah bikin lo sedih, ngerebut kasih sayang mama papa, dan bikin lo tersiksa dengan sikap gue salama ini.
Gue punya sesuatu buat lo. Gue harap lo suka. Itu hasil jepretan gue sendiri. Lo liat aja nanti di galeri yang ada di laptop ini. OK!!! Oh ya.. jangan marah ya gue suka ngintip lo kalau lo lagi sama Kiki kiki itu. Hehehe..
With LOVE,,
Alvin Jonathan
___
Aku tersenyum. Penasaran juga dengan apa yang kak Alvin tunjukan padaku. Aku yakin itu sebuah foto. Tapi foto apa? Ya sudahlah sekarang di lihat saja.
Dan ternyata, sebuah foto yang sama sekali tak bisa aku tebak sebelumnya. Foto soranga anak laki-laki yang sedang bermain gitar dan ada seorang perempuan di sampingnya. Gambar itu tak asing untukku. Ya.. dua orang itu adalah aku dan kiki. Dan sekarang aku tau kak Alvin suka mengintip. Dan hebatnya aku tak pernah menyadari hal itu. Aku senang sekali karena sekarang aku punya foto yang bisa ku kenang bersama Kiki.
Tiba-tiba handphoneku yang sedang ada di tanganku berdering.
Papa calling
Aku tersenyum. Mungkin ini kak Alvin. Tapi mangapa ia tak memakai handphonenya ?? entah lah.. akupun segera mengangkat telfon tersebut.
“haloo..” sapaku.
“Shill,, kamu cepet …” dan tiba-tiba suara yang terdengar seperti suara mama pun hilang. Aku bingung, khawatir, karena suara tadi terdengar seperti diiringi dengan isakan yang cukup hebat.
“hallooo… mama..” panggilku cepat. Tapi tak ada jawaban. Tapi sambungan telefonnya masih tersambung.
“Shilla,, kamu cepet ke rumah sakit ya nak..” dan sambungan telfonpun terputus.
“papa.. haloo.. papa..” aku tak ambil pusing. Segera aku keluar dari kamar kak Alvin lalau pergi ke rumah sakit.
Aku membuka pintu kamar kak Alvin. Papa langsung berdiri dari tempatnya dan meletakan kepala mama yang bersandar di pangkuannya dan segera memelukku. Aku benar-benar tak mengerti ? ada apa ? apa yang terjadi sebenarnya ? ada apa dengan mama yang terbaring lemah di sofa ?
“Kenapa pa ?? mama.. mama kenapa ?” tanyaku.
Papa tak menjawab sedikitpun. Akupun langsung melepaskan pelukan papa dan segera menghampiri kak Alvin.
“Kakak..” pangilku sambil memegang tangan kak Alvin. Baru saja aku menyentihnya sedikit, tangan itu terasa sangat dingin. Aku kaget. Dan akupun baru menyadari selang infus, selang oksigen dan alat-alat yang ada sebelum aku pergi pun tak terpasang.
“Kak alvin.. KAKAK BANGUN…” aku bertiriak sambil mengguncang guncangkan badan kakak kesayanganku itu. Air mataku tak bisa terbandung lagi.
“Kakak mu sudah tenang. Dia sudah bebas dari penyakitnya” bisik papa sambil memelukku dari belakang.
***
Gumpalan tanah merah itu sudah di taburi bunga warna-warni dan sudah di pasangkan nisan. Dia telah pergi. Pergi sebelum aku mengucapkan terimakasih padannya, pergi untuk slama-lamanya dan tak akan pernah kembali.
“Kak.. makasih ya untuk semuanya. Shilla tau kakak sekarang udah gak tersiksa lagi. Kakak udah tenang di sana. Dan Shilla akan berusaha untuk ikhlas dan terus menjadi Shilla yang dulu, seperti pesan kakak” ucapku sambil mengusap nisan yang ada di depanku.
Walau dia telah pergi dan tak akan kembali, bagiku dia tetap hidup dalam hatiku. Tetap hidup di hati orang-orang yang mencintainya. Dia akan selalu menjadi kakak yang terbaik untukku dan takkan pernah terganti. Aku berjanji akan selalu mengingatmu. Mengingatmu dalam hatiku dan senyumanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar