Rabu, 04 Januari 2012

When You Go (Cerpen)

Hampir dua bulan aku harus melihatnya seperti ini. Hatiku semakin tak tenang. Keraguan selalu datang menghampiriku disetiap aku melihatnya seperti ini. Yah, hanya sebuah keajaiban yang bisa merubah semua ini. Dan mengapa aku semakin ragu keajaiban itu akan datang ? Sungguh menyakitkan melihat gadisku yang terbaring lemah tanpa sedikitpun ingin bertingkah. Tak ada lagi senyum manisnya, tak ada lagi canda tawanya, tak ada lagi kalimat kalimat indah yang keluar dari bibir mungilnya.

Tak sanggup aku melihatnya seperti ini. Aku pun tak bisa berbuat apa apa. Dalam satu tahun ini semua telah berubah. Kehidupan yang begitu indah dengan semua yang ku miliki telah berubah menjadi kelam tanpa kebahagiaan. Bagiku tak ada yang lebih menyakitkan dari harus melihat seorang yang aku sayangi terbaring lemah tak berdaya.
Perlahan ku belai rambut indahnya. Aku pandangi setiap lekuk dari wajahnya yang selalu terlihat manis ini. Aku tak tau apa dan bagaimana yang sedang dirasakannya saat ini. Dan aku pun tak tau mimpi apa yang sedang berputar pada tidurnya sampai-sampai ia tak kunjung bangun. Apa dirinya sedang menantikan sang pangeran untuk membangunkannya dari mimpi panjangnya ? tapi kenapa aku tak bisa melakukannya ? mengapa aku tak bisa membuat matanya kembali bersinar? Walau begitu, aku yakin dalam keadaan mata tertutup dia masih bisa merasakan kehadiranku disini.
***
Senyum pun ter ukir di bibir merahku. Setelah seharian aku harus membahongi Sivia dan harus bersusah payah untuk membuat ini semua , aku cukup yakin Sivia akan senang dengan semua yang telah ku persiapkan.
Kulihat empat deret angka yang berjajar rapih di jam tangan digital yang sedang ku kenakan. Aku pun tersenyum saat melihat empat angka itu. Dan kurasa ini memang sudah waktunya.
Aku mengambil korek api dari dalam saku celanaku. Dengan cekatan aku mulai menyalakan satu per satu lilin-lilin yang telah ku tata rapih di ruangan yang tidak terlalu besar ini. Dan.. hap.. setelah semua selesai, ku matikan lampu yang tadinya menerangi ruangan ini.
Aku kembali melihat pada jam tangan digitalku. Tepat waktu !! segera ku ambil handphone dari saku celanaku. “Siap”, kataku sembari kembali tersenyum membayangkan apa yang aku terjadi nanti. Untung aku hanya sendiri di ruangan ini. Kalau aku tak sendiri, mungkin aku sudah di cap sebagai orang gila.
Tanpa menunggu lama setelah aku mematikan sambungan teleponku, terdengar suara mesin mobil yang dimatikan. Terdengar dengan jelas langkah orang yang sedang berlari. Senyum di bibirku semakin melebar. Semakin lama, semakin terdengar jelas. Dan akhirnya suara decitan pintu yang tengah dibuka menjadi akhir dari semua suara itu.
Kulihat seorang gadis tengah berdiri di ambang pintu. Wajahnya terlihat khawatir. Dia berlari ke arahku kemudian memelukku erat.
“Happy birthday Sivia”, bisikku di tepat di telinga gadis yang sedang memelukku ini. Ku dengar isakan darinya. Dan aku mulai merasa air matanya jatuh membasahi kemeja yang ku pakai.
“Maaf telah membuatmu khawatir”, masih dengan posisi seperti tadi, aku mulai membelai rambutnya. Tapi dengan gerakan cepat Sivia melepaskan pelukannya.
“Enggak Vin,, enggak”, ia berlari menjauhiku. Menghampiri setiap lilin yang telah ku nyalakan dan meniupnya satu per satu. Hanya dalam hitungan detik, Sivia mampu menium lilin lilin itu dan ruangan pun mulai meredup.
“Via..”, ku panggil gadisku ini. Ia akan meniup satu satunya lilin yang menyala. Sivia menoleh dan aku pen mendekatinya. “Kamu kenapa ?”, Tanyaku sambil memegang kedua pundaknya. Ia hanya menunduk dan menangis. Kembali ku bawa Sivia dalam pelukanku.
“Aku gak mau kehilangan kamu”, katanya lirih. Aku pun melepaskan pelukanku. Memandang lekat lekat wajahnya yang tengah di banjiri air mata. Perlahan ujung jempolku menyentuh pipi merahnya. Menghapus air langit yang terus saja mengalir.
“Hey hey.. kamu kenapa Vi ?”, Sivia tak menjawab pertanyaanku. Dia kembali menangis dan menunduk. “Oh.. apa karena kecelakaan itu ? kamu gak perlu khawatir. Aku baik baik aja kan ? itu hanya sebagian rencanaku saja. Kamu bisa lihat aku baik baik saja kan ?” , Sivia mengangguk. “Kalau begitu, aku punya sesuatu yang sepesial buat kamu. Tapi sebelumnya aku nyalain lagi ya lilin lilinnya”, kataku sambil tersenyum, berharap Sivia akan tersenyum juga sambil mengangguk dan rencana ku pun akan berjalan seperti rencana awalku.
“Engak Vin, enggak”, Sivia menggeleng. Aku mengerutkan kening. “aku gak suka”, dan fiuh.. satu satunya lilin yang masih menyala pun padam. Dan ruangan pun menjadi gelap.
“Pulang Vin, pulang..”
“Tapi kenapa ?” aku semakin bingung. Tak mengerti jalan pikiran Sivia. Ini bukan Sivia gadisku. Bukan Sivia yang biasanya.
“Pulang Vin pulang..”, Sivia terus mendesakku. Sepertinya ia memang tak suka dengan malam ini. Walau dalam keadaan gelap, aku tetep bisa melihat butiran butiran air langit di wajahnya. “Ayo Vin, aku mohon”, tak di sangka, tiba-tiba Sivia memegang kakiku dan berlutut. Hay ada apa ini? Segera ku samakan posisiku dengannya.
“oke, kita pulang”, dangan berat hati harus ku katakana kalimat itu. Sivia mengangakat wajahnya dan tersenyum padaku.
“Terima kasih”, katanya. Kami kembali berdiri. Lalu keluar dari ruangan ini. Aku memang kecewa, sangat kecewa malah. Tapi apa boleh buat, semua berjalan tak seperti yang aku inginkan. Aku harus terima itu. Karena mungkin Sivia tak menyukainya.
“Lho?? Sudah pulang Vin ? acaranya sudah selsai? Ko sebentar sekali? Baru saja ayah sampai. Kok kalian udah pulang ?”, deretan pertanyaan menjemput kami saat aku dan sivia tiba di rumah Sivia.
“Nanti Alvin ceritakan bu. Lebih baik sekarang Sivia istirahat”
“Oh tentu, ayo masuk”,aku dan Sivia pun masuk. Aku antar Sivia sampai ke tempat tidurnya. Tentunya ditemani mama sivia.
“Istirahat ya”, kataku sambil menarik kain tebal dan menyelimutkannya pada Sivia. “Aku pulang ya Vi”, ku langkahkan kaki meninggalkan gadisku bersama ibunya.
“Alvin”, suara sivia membuat langkahku terhenti di ambang puntu. Aku menolah dan kembali melihat pada Sivia.
“Maaf” katanya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu meninggalkan kamar yang di dominasi warna biru langit ini.
***
”Vin”, aku menolah saat aku merasa ada yang menepuk pelan pundakku. Seorang wanita paruh baya tengan berdiri di balakangku. Aku hanya tersenyum pada wanita itu. “lebih baik kamu pulang”, katanya . aku kembali menatap pada gadis yang masih terbaring lemah ini. Tak ada reaksi darinya. “sudah dua hari kamu tak pulang nak. Kasihan orang tuamu. Pulanglah”, aku mengangguk. Walau ragu, aku tak bisa melawan kata kata wanita yang telah ku anggap sebagai orang tuaku sendiri.
“Maafkan Alvin bu”, wanita itu membelai lembut rambutku. Pikiranku kembali menerawang. Kembali ku teringat peristiwa satu tahun yang lalu. Saat aku tau semuanya.
***
Sudah dua hari semenjak hari ulang tahunnya Sivia murung. Tak ada yang bisa mengajaknya bicara. Orang tuanya pun sudah menyarah. Aku jadi semakin khawtir dan merasa bersalah. Semoga saja Sivia mau bicara padaku.
“Vi..”, aku panggil namanya saat aku berdiri di ambang pintu kamarnya. Sivia hanya menoleh sebentar lalu memalingkan pandangannya ke arah luar jendela.
Dia tak menginginkan kehadiranku. tapi aku tetap akan berusaha. Aku mendekati sivia dan duduk di tepi tempat tidurnya,
“Vi, maafkan aku bila aku berbuat salah padamu. Maafkan aku bila malam itu membuatmu seperti ini. Tapi sungguh, bukan seperti ini yang aku mau. Tak ada sedikitpun niatku untuk menyakitimu.”, Ia masih tetep memendang ke arah luat jendela. Entah apa yang dilihatnya. Tapi ku rasa dia menghindari tatapan mataku.
“aku tak akan memaksamu untuk bicara. Aku akan menunggumu sampai kau mau bicara padaku” aku berdiri dari tempatku. Dua langkah aku berjalan, ada yang menahan tanganku. Aku diam, menunggu apa yang akan dikatakan pemilik tangan yang menahan tanganku.
“Jangan pergi. Duduklah kembali. Akan ku ceritakan semuanya padamu” tanpa suara aku kembali duduk pada posisi awalku. Menghadap pada Sivia.
“Bisa kamu duduk menghadap sana ? membelakangiku ? aku tak mau melihat wajahmu, karena semua itu akan membuatku ragu untuk bicara”, kuturuti apa maunya. Sekarang posisi duduk ku sama seperti Sivia.
“terima kasih sebelumnya. Aku senang mengenalmu. Dan semoga saja kamu pun tak menyesal telah mengenalku”
“Maksud kamu?”
“Tolong jangan bicara apapun sebelum aku selesai bicara”aku diam. Menunggu Sivia melanjutkan kata-katanya. “aku sakit Vin.  Disini”, aku tak tau Sivia menunjuk kea rah mana. Aku masih membelakanginya.
Aku masih belum mengerti dengan apa yang dibucarakan gadis ini. tiba tiba bahu kananku tersa berat. Sivia menaruh kepalanya di bahuku.
“Setelah kamu tau, terserah kamu mau gimana. Kamu mau terima aku atau mau tinggalin aku” ia kembali diam. Aku benar benar tak mengerti. Apa yang di sembuyikan Sivia sampai sampai aku harus meninggalkannya.
“Aku kena kangker hati dua tahun yang lalu” apa ?? apa yang dia bilang ?? aku muali bisa mengerti arah pembicaraan ini. aku merubah posisi dudukku. Mengangkat kepala Sivia dan mulai memandang matanya yang mulai berkaca kaca.
“Apa kamu bilang ??” tanya ku tegas. Sivia hanya menunduk dan mulai terisak. “Tatap mata aku Vi. Kamu bohong kan ?” Sivia terus saja menunduk. “Tatap mata aku Via !!” dia tidak bisa mengalihkan pandangannya. Menunduk.
“terserah mau kamu gimana. Aku akan terima” katanya lirih. Tampaknya ia sudah mulai menangis. Aku peluk gadisku itu. “Aku tak akan meninggalkanmu Vi, aku sayang kamu tulus. Apapun dan bagaimana pun keadaanmu” bisikku tepat di telinganya.
“Terima kasih untuk semuanya”
“Tak perlu ada terima kasih. Aku sudah cukup senang dengan hubungan kita. Walaupun kau memintaku untuk menjauhi mu. Kurasa, itu tak akan ku lakukan”Sivia tampak tersenyum.
“Apa aku boleh minta satu hal sama kamu?”
“Apa?” tanyaku sambil sedikit mengusap air mata di pipinya.
“Kalau aku mati nanti, aku pengen kamu gak ada di dekat aku”
***
Wanita paruh baya yang merupakan ibu Sivia ini mengelus rambutku. Benar benar hangat. Ia adalah sosok wanita yang tegar. Figur ibu yang sangat baik. Begitupun dengan anaknya. Selalu kuat dan tegar.
“Alvin pulang dulu bu”, kataku lalu mencium tangan wanita yang sudah ku anggap seperti ibuku sendiri.
“Hati-hati yan Vin. Kalau ada apa apa Ibu pasti kabari kamu” aku mengangguk lalu mulai meninggalkan kamar yang dua hari ini tidak aku tinggalkan.
“Abang..” aku tersenyum saat Ray, adikku menyambut ku saat aku baru membuka pintu rumah. “ Gimana keadaan kak Via bang ?” aku hanya tersenyum. “Abang cape, abang istirahat dulu ya”
“Tapi bang..” sebuah suara yang berasal dari saku celanaku membuat kalimat ray terhenti. aku merogoh saku celanaku. Melihat siapa yang menghiasi layar handphoneku.
Maafkan ibu Vin. Dia tidak sekuat yang ibu kira.
Sender : Sivia
“Kak Via udah sembuh kok. Kamugak usah kawatir” kataku akhirnya pada adikku ini. Ray tampak tersenyum. Dia memang sembuh dari penyakitnya. Tapi dia tak akan pernah ada lagi menamaniku.
“berarti Ray bisa cepet main lagi sama kak Via yah ?”
“Kita bisa ketemu kak Via suatu hari nanti”
Ya. Suatu hari nanti. Entak kapan dan dimana. Dia telah pergi untuk selama lamanya. Tanpa bisa di cegah dan di halangi. Pergi membawa separuh hatiku dan seluruh kenangan kita. Seperti yang dulu pernah dia katakana, “Aku tak mau mati di dekatmu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar