About Us [05] Rencana
“Papa tunggu disini ya Shil.” Shilla mengangguk lalu
meninggalkan papanya yang masih berdiri di sekitar kasir. Dengan cepat, kaki
jenjangnya kembali melangkah menuju tempat dimana tadi ia memilih beberapa
pakaian.
Setelah menemukan seorang perempuan muda berbaju putih
hitam, Shilla menyerahkan nota yang tadi dibawanya ke kasir saat membayar.
“Terima Kasih..” Shilla tersenyum lalu pergi saat tas
belanjanya sudah berpindah tangan.
Shilla memang lebih dekat dengan papanya dibangdingkan
dengan mamanya. Lain dari gadis biasanya, Shilla lebih senang papanya yang
menemaninya belanja. ‘Papa tau selera
anak remaja, beda sama mama yang selalu pilih sesuatu yang terkesan dewasa. Dan
yang paling penting, papa gak pelit’ Ujarnya ketika mama sempat protes
karena Shilla selalu mengajak papa untuk membeli sesuatu.
“Pa, ayo pulang..” Shilla baru sadar ketika ternyata papanya
tak sendiri. Setelah ia berhasil berdiri sejajar dengan papanya, barulah
terlihat seorang wanita paruh baya seumuran mamanya berdiri di depan papanya.
Mungkin karena postur tubuh wanita itu yang terlihat mungil, saat berjalan tadi
Shilla tak melihatnya kerena terhalang tubuh kokoh papanya.
“Hey, ini siapa?” wanita itu memandang Shilla dengan
senyumnya. Gadis itu ikut tersenyum lalu bersama wanita itu, pandangannya ikut
beralih pada papanya.
“Oh, Shilla kenalkan ini teman lama papa, tante Shintia.”
Kemudian Shilla menarik tangan kanan wanita itu dan mencium punggung tangannya.
Sopan santun memang selalu di ajarkan papa maupun mamanya. Ketika ia bertemu
dengan sahabat atau teman-teman orang tuanya, yang pertama harus dilakukannya
adalah menyalami mereka.
“Ini anakmu? Cantik..” Shilla hanya bisa tersenyum. Tentu
saja tak ada yang tak senang dibilang cantik. Papanya tertawa kecil.
“Shilla mirip sekali dengan mamanya.” Tampah papanya. Shilla
jadi bangga sekali memiliki mama yang menurutnya cantik.
“Oh, pasti mamamu juga cantik ya Shilla.” Shilla hanya
tersenyum malu.
“Tante juga cantik..”
“Ah,, terimakasih sayang…” Shintia tersenyum. “Kamu kelas
berapa?”
“Kelas dua tante..”
“Oh, anak tante juga kelas dua. Dia juga perempuan. Kamu
sekolah dimana?”
“Dia satu sekolah dengan kakaknya” Sebelum Shilla sempat
menjawab, papanya sudah menjawab duluan. Shilla pun hanya tersenyum dan ikut
mengangguk menyetujui perkataan papanya.
“Mungkins udah saatnya anak kita bertemu. Apalagi anakku dan
kakaknya Shilla. Mereka harus saling mengenal.”
“Tentu saja. Secepatnya mereka harus bertemu.” Shilla yang
tak mengerti kemana arah pembcaraan papanya dan tante Shintia pun hanya bisa
memandangi raut wajah mereka yang sama-sama terdiam dengan senyum menghiasi
bibir mereka. Entahlah, Shilla tak berani menafsirkan apa maksud dari ekspresi
mereka itu.
“Emm.. kayaknya saya harus pulang.” Shintia memandang Shilla
lalu memandang papa Shilla dan tersenyum. “Saya duluan ya..”
***
“Mama mau kemana?”
Ify mengurungkan niatnya untuk pergi ke dapur saat melihat mamanya sedang
mengunci pintu kamarnya. Penampilan mamanya sangat terlihat rapi.
“Lho, kamu kenapa belum siap?” Ify mengerutkan kening. “Kamu
udah baca pesan mama di meja belajar kamu?” Ify menggeleng. Pantas saja anaknya
ini tak tau tentang rencananya.
“Memangnya mau kemana?”
“Mending kamu siap-siap dulu deh. Nanti juga kamu tau.”
Bukannya menjawab, Shintia malah menarik anaknya untuk naik kembali ke
kamarnya. Ia membuka kamar Ify dan segera membuka lemari pakaian Ify untuk
memilih pakaian yang cocok untuk anaknya.
“Memangnya kita mau kemana sih ma?”
“Kamu diem aja deh, nanti juga kamu tau.” Ify hanya bisa
diam saat mamanya mencocokkan beberapa pakaian di badannya sampai akhirnya
memutuskan untuk memilih celana panjang berbahan jeans dengan atasan berwarna pink.
“Kamu ganti baju. Mama tunggu di bawah ya?” Ify hanya
mengangguk lalu menyaksikan punggung mamanya hilang di balik pintu kayu
kamarnya. Ify kembali memandang pakaian yang di pilihkan mamanya itu sampai
terdengar suara klakson mobil dari depan rumahnya.
Ify menghampiri jendela, membuka sedikit tirai tipis yang
menutupi daun jendelanya. Ify tersenyum miring. Pantas saja mamanya sangat
terlihat senang. Lagi-lagi laki-laki itu yang mengajak mereka pergi.
Ify jadi malas untuk pergi. Ia kembali terduduk di atas
tempat tidurnya. Mamanya terlihat sangat senang dan bersemangat untuk pergi
dengan laki-laki itu. Kenapa Ify tak pernah bisa merasa nyaman dan aman? Ify
menghela nafas, lalu kembali menatap pakaiannya sambil menimang.
***
“Saya kira kamu gak akan ikut. Soalnya tadi kita nunggu kamu
lama sekali loh..” Ify mendelik pada laki-laki di sebelahnya ini. Penderitaannya
memang benar-benar lengkap. Bukan hanya satu laki-laki yang mungkin akan ada di
dalam kehidupannya. Tapi dua. Ternyata laki-laki yang ingin menikahi ibunya ini
juga memiliki seorang anak. Mahasiswa salah satu perguruan tinggi di kotanya. Laki-laki
lagi. Dan inilah orangnya, yang sedang berjalan di sampingnya.
“Gue akan sangat bersenang hati seandainya sekarang gue ada
di rumah.”
“Terus kenapa kamu ikut?”
“Terpaksa!” Alvin –laki-laki itu- hanya bisa tersenyum.
Ternyata memang benar apa yang pernah ayahnya ceritakan tentang calon adiknya
ini. Walaupun manis dan cantik, tapi sikapnya memang sangat cuek dan terlihat
menolak kehadirannya dan ayahnya.
“Kamu harus terbiasa. Karna papa pastinya akan ajak kita
minimalnya sebulan sekali untuk jalan-jalan bareng. Kalau memang gak bisa ke
luar kota, ya kayak gini, jalan-jalan di mall pun cukup.” Ify mendelik.
Memangnya siapa yang mau di ajak jalan-jalan? Cukup sekali saja dan tak ada
yang kedua, ketiga dan seterusnya.
“Bokap lo mana sih? Lama banget!”
“Mereka ketemu temen-temen papa dulu. Cuma ketemu kok.
Sebentar lagi juga balik lagi. Kamu tunggu sini ya.” Ify duduk di kursi empuk
berwarna kuning sambil menunggu Alvin yang mulai berbaur dengan orang-orang
yang juga berbaris mengantre. Agenda mereka malam ini memang mau nonton lalu
makan malam bersama. Karena kebetulan teman Pratama juga sedang ada di sini, ia
berinisiatif untuk menemui mereka dan menugaskan Alvin untuk membeli tiket
terlebih dahulu.
“Kita dapet yang jam Sembilan. Masih lama benget yah, gimana
kalau kita makan dulu?” Usul Alvin saat melihat ayahnya dan mama Ify sudah ada
di dekat Ify.
“Masih dua jam ya?” Pratama melihat jam tangannya lalu
mengangguk, setuju dengan usul Alvin. “Ya sudah, kita makan dulu. Supaya gak
kelamaan nunggu.” Shintia mengangguk dan segera beranjak. Ify yang terpaksa
harus ikut pun terpaksa pula setuju. Ini artinya ia akan berada lebih lama
bersama dua laki-laki ini. Menyebalkan!
“Kamu mau makan apa Fy?” Pertama Pratama bertanya pada Ify.
Gadis itu hanya sedikit mengalihkan pandangannya dari daftar menu untuk melirik
Pratama. Tak menjawab, Ify kembali melihat buku menu yang menurutnya harga yang
tercantum disana sangat luar biasa.
“Alvin yang nomor dua ya yah..” Ify segera melihat makanan
apa yang tertulis di buku menu itu. Rp. 25.400,00. Senyumnya tiba-tiba terukur
di bibirnya. Mungkin ini mamang bukan hal yang terlalu buruk.
“Om, Ify mau yang nomor Sembilan.” Pratama langsung mengambut
hangat jawaban Ify itu. Ia segera menuliskan pesanan Ify di kertas pesanannya.
Beberapa saat kemudian, ia mengangkat tangan dan menyerahkan kartas pesanannya.
Kebab …………………….. Rp.
64.900,00
***
“Fy, nyokap lo habis belanja buat sebulan ya?”
“Hmm?”
“Persediaan makanan elo kok tumben banyak banget?” Prissy
datang dengan dua kaleng soft drink dan sebungkus snack besar yang ia apit di
tangannya. Ia menghampiri Ify dan memberkan sekaleng soft drink yang memang
sebenarnya milik Ify pada sahabatnya itu.
“Elo juga habis belanja ya? Banyak banget.” Prissy
menbolak-balik kantung belanja yang ada di sebelah tempat tidur Ify.
“Ohh.. Rejeki gue kali. Semoga aja setelah ini om gak jelas
itu gak jadi nikahin nyokap gue”
“Maksud lo apaan sih?” Ify tersenyum licik sambil memandang
Prissy yang masih penasaran. “Tunggu, jangan bilang ini semua elo dapet dari
calon bokap elo?” senyum Ify makin melebar. Mengingat kejadian tadi malam yang
membuat Ify tak menyesal untuk ikut bersama mamanya.
“Hus, bukan calon bokap gue. Gue gak akan pernah punya bokap
seumur hidup gue.” Ify kembali tersenyum mengingat bagaimana ganasnya ia
kemarin saat memborong semua barang-barang yang sekarang ada di kamarnya.
“Gila.. dia habis berapa untuk bayarin ini semua? Sejak
kapan sih elo jadi matre gini?”
“ya siapa suruh mau nikah sama mama. Enak aja! Emangnya dia
siapa? Baju-bajunya juga bagus kan Pris?” Prissy membuka salah satu –dari
banyak- kantung belanja Ify. Ia membawa satu potong baju dan satu potong celana.
Matanya membesar saat melihat bandrol harga dua potong pakaian itu. Prissy
langsung memandang Ify, tak percaya sahabatnya bisa berbuat seperti ini.
“Fy, ini nanyanya ngerampok. Lu bukan cuma nguras dompetnya
kalau harganya kayak gini”
“Memang, setelah gue liat om Tama ngitung duitnya yang ada
di dompet dia, dia langsung ngeluarin ATM nya.” Prissy hanya bisa menggelangkan
kepalanya melihat Ify yang tersenyum puas. Sampai kapan Ify akan menganggap
semua laki-laki di dunia ini sama? Sampai kapan Ify menganggap semua laki-laki
itu akan selalu menyakiti perempuan?
***
Bodohnya aku ternyata
aku senyum-senyum tak menentu
Tak sadar diriku ternyata aku sedang melamunkan dirimu
Mengapa kamu selalu saja kamu penuhi otakku
Karena kamu selalu sajak kamu menjajah hatiku
Tak sadar diriku ternyata aku sedang melamunkan dirimu
Mengapa kamu selalu saja kamu penuhi otakku
Karena kamu selalu sajak kamu menjajah hatiku
Rio sedikit tersentak saat terdengar suara Shilla dari arah
dapur. Adiknya itu memang senang menyanyi. Dilihatnya Shilla menghampiri kulkas
dan mencari sesuatu di dalamnya. Sepertinya gadis itu tak bermaksud untuk
menyindirnya.
Sejak tadi pikirannya memang sedang terbang memikirkan
seseorang. Ify. Gadis itu semakin memenuhi otaknya. Ia jadi teringat saat
pertama kali dirinya bisa berbicara langsung dengan gadis itu.
“Sorry, gue mau
lewat..”
“Gue mau lewat. Bisa minggir
sebentar? Elo jalannya di tengah!”
“Shil, temen lo kenapa
sih? Budge kali ya?”
“Ohh.. elo yang nabrak
gue tadi kan?”
Betapa bodohnya ia saat itu. Rio berpura-pura tak pernah
bertemu dengan Ify sebeumnya. Ia pun bersikap sinis di depan gadis itu. Sampai
pertemuan-pertemuan tak sengaja mereka selanjutnya, Rio hanya bisa menyapa
gadis itu dengan kalimat yang juga sangat payah.
“Mau?” tiba-tiba di depannya terulur tangan Shilla dengan
gelas penuh air berwarna oranye. Rio menerimanya dengan senang hati.
“Shil, elo tau gak Ify sukanya apa?”
“Hngg??” Shilla yang ikut duduk di samping Rio menurunkan
gelas yang tadi menempel dengan mulutnya. “Kesukaan Ify ya? Hmm.. gue gak tau
Yo.” Rio mendesah kecewa. Gampang sekali Shilla berkata seperti itu.
“Masa elo sekelas hampir tiga bulan elo gak tau
kebiasaan-kebiasaan Ify.”
“Elo yang katanya DARI DULU suka sama dia masa gak punya
sedikit aja info tentang dia?” Shilla malah membalikan pertanyaan. Sebal juga
kerena Rio bersikap seenaknya.
“Elo kan tau Ify itu orangnya tertutup banget. Gue pernah
tanya orang lain juga mereka gak tau. Minimalnya elo kan hampir ketemu setiap
hari tuh.”
“Emang elo tanya siapa?”
“Cakka, Debo, emm Lintar.”
“Yaelah, elo nanya sama yang mereka. Mereka mana kenal Ify.
Lagian kayaknya Ify gak pernah ramah sama cowok manapun. Elo coba tanya Prissy
dong!” Benar juga apa kata Shilla. Dirinya saja yang notabene suka
memperhatikan gadis itu diam-diam tak tau apa-apa, apalagi tiga temannya tadi
yang mungkin bertegur sapa dengan Ify pun tak pernah.
“Elo aja deh yang tanya sama Prissy.”
“Idihh.. kok gue?”
“Ayolah Shil. Elo kan baik. Atau lebih bagus elo deketin
Ify?” Rio tersenyum lebar sambil memohon pada Shilla sampai akhirnya Shilla
mengangguk. Shilla memang ingin dekat dengan Ify, bukan saja hanya karena Rio
yang memintanya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar