Jumat, 13 Juli 2012

About Us [05] Rencana ..


About Us [05] Rencana 

“Papa tunggu disini ya Shil.” Shilla mengangguk lalu meninggalkan papanya yang masih berdiri di sekitar kasir. Dengan cepat, kaki jenjangnya kembali melangkah menuju tempat dimana tadi ia memilih beberapa pakaian.
                       
Setelah menemukan seorang perempuan muda berbaju putih hitam, Shilla menyerahkan nota yang tadi dibawanya ke kasir saat membayar.


“Terima Kasih..” Shilla tersenyum lalu pergi saat tas belanjanya sudah berpindah tangan.

Shilla memang lebih dekat dengan papanya dibangdingkan dengan mamanya. Lain dari gadis biasanya, Shilla lebih senang papanya yang menemaninya belanja. ‘Papa tau selera anak remaja, beda sama mama yang selalu pilih sesuatu yang terkesan dewasa. Dan yang paling penting, papa gak pelit’ Ujarnya ketika mama sempat protes karena Shilla selalu mengajak papa untuk membeli sesuatu.

“Pa, ayo pulang..” Shilla baru sadar ketika ternyata papanya tak sendiri. Setelah ia berhasil berdiri sejajar dengan papanya, barulah terlihat seorang wanita paruh baya seumuran mamanya berdiri di depan papanya. Mungkin karena postur tubuh wanita itu yang terlihat mungil, saat berjalan tadi Shilla tak melihatnya kerena terhalang tubuh kokoh papanya.

“Hey, ini siapa?” wanita itu memandang Shilla dengan senyumnya. Gadis itu ikut tersenyum lalu bersama wanita itu, pandangannya ikut beralih pada papanya.

“Oh, Shilla kenalkan ini teman lama papa, tante Shintia.” Kemudian Shilla menarik tangan kanan wanita itu dan mencium punggung tangannya. Sopan santun memang selalu di ajarkan papa maupun mamanya. Ketika ia bertemu dengan sahabat atau teman-teman orang tuanya, yang pertama harus dilakukannya adalah menyalami mereka.

“Ini anakmu? Cantik..” Shilla hanya bisa tersenyum. Tentu saja tak ada yang tak senang dibilang cantik. Papanya tertawa kecil.

“Shilla mirip sekali dengan mamanya.” Tampah papanya. Shilla jadi bangga sekali memiliki mama yang menurutnya cantik.

“Oh, pasti mamamu juga cantik ya Shilla.” Shilla hanya tersenyum malu.

“Tante juga cantik..”

“Ah,, terimakasih sayang…” Shintia tersenyum. “Kamu kelas berapa?”

“Kelas dua tante..”

“Oh, anak tante juga kelas dua. Dia juga perempuan. Kamu sekolah dimana?”

“Dia satu sekolah dengan kakaknya” Sebelum Shilla sempat menjawab, papanya sudah menjawab duluan. Shilla pun hanya tersenyum dan ikut mengangguk menyetujui perkataan papanya.

“Mungkins udah saatnya anak kita bertemu. Apalagi anakku dan kakaknya Shilla. Mereka harus saling mengenal.”

“Tentu saja. Secepatnya mereka harus bertemu.” Shilla yang tak mengerti kemana arah pembcaraan papanya dan tante Shintia pun hanya bisa memandangi raut wajah mereka yang sama-sama terdiam dengan senyum menghiasi bibir mereka. Entahlah, Shilla tak berani menafsirkan apa maksud dari ekspresi mereka itu.

“Emm.. kayaknya saya harus pulang.” Shintia memandang Shilla lalu memandang papa Shilla dan tersenyum. “Saya duluan ya..”

***

 “Mama mau kemana?” Ify mengurungkan niatnya untuk pergi ke dapur saat melihat mamanya sedang mengunci pintu kamarnya. Penampilan mamanya sangat terlihat rapi.

“Lho, kamu kenapa belum siap?” Ify mengerutkan kening. “Kamu udah baca pesan mama di meja belajar kamu?” Ify menggeleng. Pantas saja anaknya ini tak tau tentang rencananya.

“Memangnya mau kemana?”

“Mending kamu siap-siap dulu deh. Nanti juga kamu tau.” Bukannya menjawab, Shintia malah menarik anaknya untuk naik kembali ke kamarnya. Ia membuka kamar Ify dan segera membuka lemari pakaian Ify untuk memilih pakaian yang cocok untuk anaknya.

“Memangnya kita mau kemana sih ma?”

“Kamu diem aja deh, nanti juga kamu tau.” Ify hanya bisa diam saat mamanya mencocokkan beberapa pakaian di badannya sampai akhirnya memutuskan untuk memilih celana panjang berbahan jeans dengan  atasan berwarna pink.

“Kamu ganti baju. Mama tunggu di bawah ya?” Ify hanya mengangguk lalu menyaksikan punggung mamanya hilang di balik pintu kayu kamarnya. Ify kembali memandang pakaian yang di pilihkan mamanya itu sampai terdengar suara klakson mobil dari depan rumahnya.

Ify menghampiri jendela, membuka sedikit tirai tipis yang menutupi daun jendelanya. Ify tersenyum miring. Pantas saja mamanya sangat terlihat senang. Lagi-lagi laki-laki itu yang mengajak mereka pergi.

Ify jadi malas untuk pergi. Ia kembali terduduk di atas tempat tidurnya. Mamanya terlihat sangat senang dan bersemangat untuk pergi dengan laki-laki itu. Kenapa Ify tak pernah bisa merasa nyaman dan aman? Ify menghela nafas, lalu kembali menatap pakaiannya sambil menimang.

***

“Saya kira kamu gak akan ikut. Soalnya tadi kita nunggu kamu lama sekali loh..” Ify mendelik pada laki-laki di sebelahnya ini. Penderitaannya memang benar-benar lengkap. Bukan hanya satu laki-laki yang mungkin akan ada di dalam kehidupannya. Tapi dua. Ternyata laki-laki yang ingin menikahi ibunya ini juga memiliki seorang anak. Mahasiswa salah satu perguruan tinggi di kotanya. Laki-laki lagi. Dan inilah orangnya, yang sedang berjalan di sampingnya.

“Gue akan sangat bersenang hati seandainya sekarang gue ada di rumah.”

“Terus kenapa kamu ikut?”

“Terpaksa!” Alvin –laki-laki itu- hanya bisa tersenyum. Ternyata memang benar apa yang pernah ayahnya ceritakan tentang calon adiknya ini. Walaupun manis dan cantik, tapi sikapnya memang sangat cuek dan terlihat menolak kehadirannya dan ayahnya.

“Kamu harus terbiasa. Karna papa pastinya akan ajak kita minimalnya sebulan sekali untuk jalan-jalan bareng. Kalau memang gak bisa ke luar kota, ya kayak gini, jalan-jalan di mall pun cukup.” Ify mendelik. Memangnya siapa yang mau di ajak jalan-jalan? Cukup sekali saja dan tak ada yang kedua, ketiga dan seterusnya.

“Bokap lo mana sih? Lama banget!”

“Mereka ketemu temen-temen papa dulu. Cuma ketemu kok. Sebentar lagi juga balik lagi. Kamu tunggu sini ya.” Ify duduk di kursi empuk berwarna kuning sambil menunggu Alvin yang mulai berbaur dengan orang-orang yang juga berbaris mengantre. Agenda mereka malam ini memang mau nonton lalu makan malam bersama. Karena kebetulan teman Pratama juga sedang ada di sini, ia berinisiatif untuk menemui mereka dan menugaskan Alvin untuk membeli tiket terlebih dahulu.

“Kita dapet yang jam Sembilan. Masih lama benget yah, gimana kalau kita makan dulu?” Usul Alvin saat melihat ayahnya dan mama Ify sudah ada di dekat Ify.

“Masih dua jam ya?” Pratama melihat jam tangannya lalu mengangguk, setuju dengan usul Alvin. “Ya sudah, kita makan dulu. Supaya gak kelamaan nunggu.” Shintia mengangguk dan segera beranjak. Ify yang terpaksa harus ikut pun terpaksa pula setuju. Ini artinya ia akan berada lebih lama bersama dua laki-laki ini. Menyebalkan!

“Kamu mau makan apa Fy?” Pertama Pratama bertanya pada Ify. Gadis itu hanya sedikit mengalihkan pandangannya dari daftar menu untuk melirik Pratama. Tak menjawab, Ify kembali melihat buku menu yang menurutnya harga yang tercantum disana sangat luar biasa.

“Alvin yang nomor dua ya yah..” Ify segera melihat makanan apa yang tertulis di buku menu itu. Rp. 25.400,00. Senyumnya tiba-tiba terukur di bibirnya. Mungkin ini mamang bukan hal yang terlalu buruk.

“Om, Ify mau yang nomor Sembilan.” Pratama langsung mengambut hangat jawaban Ify itu. Ia segera menuliskan pesanan Ify di kertas pesanannya. Beberapa saat kemudian, ia mengangkat tangan dan menyerahkan kartas pesanannya.

Kebab …………………….. Rp. 64.900,00

***

“Fy, nyokap lo habis belanja buat sebulan ya?”

“Hmm?”

“Persediaan makanan elo kok tumben banyak banget?” Prissy datang dengan dua kaleng soft drink dan sebungkus snack besar yang ia apit di tangannya. Ia menghampiri Ify dan memberkan sekaleng soft drink yang memang sebenarnya milik Ify pada sahabatnya itu.

“Elo juga habis belanja ya? Banyak banget.” Prissy menbolak-balik kantung belanja yang ada di sebelah tempat tidur Ify.

“Ohh.. Rejeki gue kali. Semoga aja setelah ini om gak jelas itu gak jadi nikahin nyokap gue”

“Maksud lo apaan sih?” Ify tersenyum licik sambil memandang Prissy yang masih penasaran. “Tunggu, jangan bilang ini semua elo dapet dari calon bokap elo?” senyum Ify makin melebar. Mengingat kejadian tadi malam yang membuat Ify tak menyesal untuk ikut bersama mamanya.

“Hus, bukan calon bokap gue. Gue gak akan pernah punya bokap seumur hidup gue.” Ify kembali tersenyum mengingat bagaimana ganasnya ia kemarin saat memborong semua barang-barang yang sekarang ada di kamarnya.

“Gila.. dia habis berapa untuk bayarin ini semua? Sejak kapan sih elo jadi matre gini?”

“ya siapa suruh mau nikah sama mama. Enak aja! Emangnya dia siapa? Baju-bajunya juga bagus kan Pris?” Prissy membuka salah satu –dari banyak- kantung belanja Ify. Ia membawa satu potong baju dan satu potong celana. Matanya membesar saat melihat bandrol harga dua potong pakaian itu. Prissy langsung memandang Ify, tak percaya sahabatnya bisa berbuat seperti ini.

“Fy, ini nanyanya ngerampok. Lu bukan cuma nguras dompetnya kalau harganya kayak gini”

“Memang, setelah gue liat om Tama ngitung duitnya yang ada di dompet dia, dia langsung ngeluarin ATM nya.” Prissy hanya bisa menggelangkan kepalanya melihat Ify yang tersenyum puas. Sampai kapan Ify akan menganggap semua laki-laki di dunia ini sama? Sampai kapan Ify menganggap semua laki-laki itu akan selalu menyakiti perempuan?

***

Bodohnya aku ternyata aku senyum-senyum tak menentu
Tak sadar diriku ternyata aku sedang melamunkan dirimu
Mengapa kamu selalu saja kamu penuhi otakku
Karena kamu selalu sajak kamu menjajah hatiku

Rio sedikit tersentak saat terdengar suara Shilla dari arah dapur. Adiknya itu memang senang menyanyi. Dilihatnya Shilla menghampiri kulkas dan mencari sesuatu di dalamnya. Sepertinya gadis itu tak bermaksud untuk menyindirnya.

Sejak tadi pikirannya memang sedang terbang memikirkan seseorang. Ify. Gadis itu semakin memenuhi otaknya. Ia jadi teringat saat pertama kali dirinya bisa berbicara langsung dengan gadis itu.

“Sorry, gue mau lewat..”
“Gue mau lewat. Bisa minggir sebentar? Elo jalannya di tengah!”
“Shil, temen lo kenapa sih? Budge kali ya?”
“Ohh.. elo yang nabrak gue tadi kan?”

Betapa bodohnya ia saat itu. Rio berpura-pura tak pernah bertemu dengan Ify sebeumnya. Ia pun bersikap sinis di depan gadis itu. Sampai pertemuan-pertemuan tak sengaja mereka selanjutnya, Rio hanya bisa menyapa gadis itu dengan kalimat yang juga sangat payah.

“Mau?” tiba-tiba di depannya terulur tangan Shilla dengan gelas penuh air berwarna oranye. Rio menerimanya dengan senang hati.

“Shil, elo tau gak Ify sukanya apa?”

“Hngg??” Shilla yang ikut duduk di samping Rio menurunkan gelas yang tadi menempel dengan mulutnya. “Kesukaan Ify ya? Hmm.. gue gak tau Yo.” Rio mendesah kecewa. Gampang sekali Shilla berkata seperti itu.

“Masa elo sekelas hampir tiga bulan elo gak tau kebiasaan-kebiasaan Ify.”

“Elo yang katanya DARI DULU suka sama dia masa gak punya sedikit aja info tentang dia?” Shilla malah membalikan pertanyaan. Sebal juga kerena Rio bersikap seenaknya.

“Elo kan tau Ify itu orangnya tertutup banget. Gue pernah tanya orang lain juga mereka gak tau. Minimalnya elo kan hampir ketemu setiap hari tuh.”

“Emang elo tanya siapa?”

“Cakka, Debo, emm Lintar.”

“Yaelah, elo nanya sama yang mereka. Mereka mana kenal Ify. Lagian kayaknya Ify gak pernah ramah sama cowok manapun. Elo coba tanya Prissy dong!” Benar juga apa kata Shilla. Dirinya saja yang notabene suka memperhatikan gadis itu diam-diam tak tau apa-apa, apalagi tiga temannya tadi yang mungkin bertegur sapa dengan Ify pun tak pernah.

“Elo aja deh yang tanya sama Prissy.”

“Idihh.. kok gue?”

“Ayolah Shil. Elo kan baik. Atau lebih bagus elo deketin Ify?” Rio tersenyum lebar sambil memohon pada Shilla sampai akhirnya Shilla mengangguk. Shilla memang ingin dekat dengan Ify, bukan saja hanya karena Rio yang memintanya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar