Rabu, 13 Juni 2012

About us [03] Harapan..

About Us [03] Harapan..

“Mau duduk dimana?” Ify maupun Prissy sama-sama celingukan mencari tempat yang cocok untuk mereka makan. “Disana aja yuk?” Ify menunjuk kantin bagian atas dengan telunjuknya. Prissy yang melihat kemana jari Ify menunjuk langsung mengangguk menyetujui.


“Mau makan apa Fy?” Tanya Prissy setelah mereka menempati bangku dengan meja berpayung dengan gambar salah-satu logo minuman di sisi payung itu. Kantin bagian atas ini memang hanya berisikan bangku-bangku seperti bangku yang Ify dan Prissy tadi. Tentunya payung itu bukan hanya sebagai hiasan. Tapi juga pelindung dari panasnya matahari karena kantin ini ada di ruang terbuka.

“Gue pengen bakso”

“Kayak biasa?”

“Iya lah. Masih inget kan?” Prissy mengangguk mantap. Setelah melihat Ify duduk manis di bangku yang akan mereka tempati, Prissy segera pergi menghampri tukang bakso langganan mereka. Kali ini Prissy yang kebagian tugas untuk memesankan makanan mereka.

Ify menyimpan buku tulis matematikanya. Hari ini ada ulangan. Sambil menunggu Prissy dan pesanan baksonya, ia kembali mempelajari cara-cara mengerjakan limit fungsi.

“Fy.. sendirian?” Ify mendongak, melihat siapa yang datang. Shilla, gadis itu kini berdiri di depannya. Sendirian.

“Enggak. Sama Prissy kok. Dia lagi pesen makanan” jawabnya. “Elo sendirian?”

“Eh Engg..ngak kok. Elo cuma sama Prissy doang kan? Boleh ya gue ikut disini. Disana udah penuh” Shilla tersenyum memelas. Sebenarnya, kalau mau Shilla bisa menempati meja kosong yang ada di pojok kantin di dalam sana. Saat Shilla lewat, ada meja kosong yang sepertinya cukup untuk empat sampai enam orang. Untung saja Ify tak melihat.

“Boleh lah. Emang ini kursi siapa sampe gak boleh di dudukin. Hehe” Ify tertawa. Shilla menghela nafas lega. Lalu ia segera duduk di depan Ify. “Gimana ulangan matematika? Udah siap?”

“Hah?” Shilla yang sedang celingukan mengalhkan pandangannya untuk menatap gadis d depannya ini. “emm.. ya gitu deh Fy. sesiap-siapnya gue, kalau matematika pasti elo lebih siap dari gue”

“Dasar!” Ify hanya tersenyum. Shilla memang lemah di mata pelajaran matematika. Tapi kalau sudah menyangkut Biologi, gadis itu jagonya. Shilla ingin jadi dokter, sama seperti ibunya.

Ify menunggu Prissy, dan Shilla terlihat sedang menunggu seseorang. Sambil menunggu, Ify kembali tenggelam dengan buku cacatan matematikanya. Sedangkan Shilla asik dengan handphonenya.

“Eh ada Shilla.. gak makan Shil?” Shilla menoleh dan tersenyum. Ternyata ada Prissy. Gadis itu membawa dua mangkok berisi bakso. Shilla menggeser duduknya. Membiarkan Prissy duduk di tempatnya tadi. Di depan Ify.

Prissy menyimpan dua mangkok bakso itu di meja. Satu didepannya, satu lagi di dekat buku catatan Ify.

“Sendirian Shil? Gak makan?” Prissy kembali bertanya sambil mengaduk bakso di dalam mangkuknya. Shilla memasukan handphonenya ke dalam saku roknya setelah dirasa orang yang tadi dihubungnya dapat mengetahui keberadaannya.

“Enggak sendirian kok. Ini juga lagi dipesenin makanan” Prissy membulatkan bibrnya, kemudian memasukan baksonya ke dalam mulutnya. Prissy tadi melihat Rio di tempat penjual bakso. Sepertinya Shilla sedang menunggu Rio. Karena biasanya, setiap istirahat Shilla salalu bersama Rio.

“Fy, dimakan. Urusan ulangan matematika nanti dulu deh” Ify mendongak lalu melirik mangkuk baksonya saat Prissy mengingatkan baksonya sudah datang. Ify hanya menunjukan deretan bibirnya yang terpagar rapih.

“Tanggung” katanya, lalu membalik halaman buku catatannya. Tak lama, seseorang menyimpan dua mangkuk bakso di meja yang mereka tempati.

“Nih..” kerena tak ada tempat lagi, Rio duduk sebelah Ify, di depan Shilla. Rio mendorong semangkuk bakso ke depan Shilla, lalu menarik semangkuk lagi untuknya. “Hai Fy..”

Mendengar suara itu, Ify mendongak, lalu mengerutkan kening. Ia melirik pada Shilla meminta penjelasan. Namun gadis itu malah asik dengan mangkuk baksonya. Ia juga melirik Prissy yang sepertinya tak keberatan dengan kehadirian Rio di meja mereka. kenapa juga ia harus meminta penjelasan dari Shilla?

Ify tak membalas sapaan Rio. Ia menatap bukunya, menyimpannya bangku panjang yang di dudukinya –diantara dirinya dan Ro- lalu menarik mangkuk baksonya. Tentu saja ia tak ingin menghabiskan banyak waktu di sini. Mana Rio duduk di sampingnya.

“Pris, ini kayak biasa kan?” Prissy mendongak. Lalu mengangguk. Ia ingin membuka mulut, tapi dimulutnya masih ada bakso yang belum selesai ia kunyah. Setelah masuk semua ke dalam kerongkongannya, barulah Prissy bicara.

“Udah Fy. garemnya setengah sendok teh, gak pake bawang goreng. Sambelnya satu sendok teh” Ify tersenyum, mawakili mulutnya yang ingin berkata –elo-emang-sahabat-yang-paling-pengertian-. Berbeda dengan fy, Shilla dan Rio malah sedikit terkejut saat mendengar apa yang baru saja Prissy katakan. Tentang selera makanan Ify.

“Eh Fy, selera makan elo sama kayak gue ya?” Rio tersenyum bangga. Ify hanya mendongak menatap tak suka. “Cobain deh. Pasti rasanya sama” Rio mendorong mangkuk baksonya ke dekat Ify. Ify hanya melengos. Tak ingin mencicipi dan sama sekali tak penasaran dengan rasa bakso yang sedang Rio makan.

“Wah, kebetulan banget ya” fy melotot. Kenapa Prissy jadi ikut-ikutan menanggapi laki-laki ini? malah sepertinya Prissy yang lebih tertarik daripada drinya.

“Bukan cuma sama, tapi sama persis.”Shilla anusias. Lagi-lagi ia menemukan kemiripan diantara Ify dan Rio. Shilla makin penasaran. Ia jadi makin semangat menjodohkan Ify dengan Rio.

“Eh Fy, kemarin gue liat Ray di TV. Aaaa gue seneng banget…” dengan mata berbinar Prissy mengganti topk pembicaraan, karena melihat ketidaksukaan pada raut wajah Ify. Ia baru ingat kemarin saat sedang menonton televisi, Prissy tak sengaja melihat Ray, Raynald Prasetya –salah satu finalis ajang pencarian bakat di salah satu stasiun televisi swasta-. Prissy sangat menyukai drummer cilik itu sajak pertama ia melihat Ray di televisi.

“Oh ya? Emang ada di mana?” Ify menganggapi tak kalah antusias. Mungkin hanya Ray satu-satunya laki-laki yang tak Ify benci. Selain Ify memang menyukai cara Ray menggebuk drumnya, wajahnya yang imut pun membuat Ify ikut-ikutan Prissy menyukai Ray.

“Dia main sinetron. Elo harus liat deh –” Ify dan Prissy terlarut dalam obrolan tentang Raynald Prasetya. Ify benar-benar mengacuhkan Rio yang tadinya berniat mengobrol dengan Ify. Rio dan Shilla yang tak tau menahu tentang siapa Raynald Prasetya itu hanya diam. Melihat Ify yang begitu antusias mendengar cerita Prissy membuat Rio percaya pada kata-kata Shilla kemarin. Melihat Ify yang ceria sambil tersenyum saat Prissy memuji Raynald Prasetya membuat Rio percaya Ify tak terlihat seperti orang yang pendiam. Tapi, kenapa Ify begitu dingin padanya? bahkan Ify bisa mengeluarkan banyak kata untuk menanggapi Prissy yang bercerita tentang Raynald Prasetya itu. tapi, kenapa hanya tiga huruf saja yang Ify berikan padanya kemarin?

***

“Mau liat yang karate lagi?” Ify mengangguk. Dengan cepat ia memasukan buku-bukunya ke dalam tas. “gue pulang duluan ya Fy. sebenernya sih gue mau menenin elo. Tapi gue mau mulai les gitar lagi hari ini”

“Oke oke. Gak masalah Pris, lagian Shilla suka nemenin kok. Sukses ya belajar gitarnya” setelah selesai memasukkan buku-bukunya, Prissy melambakan tangannya lalu meninggalkan Ify.

Ify menghela nafas, lalu mendongak pada Shilla yang duduk tak jauh di belakangnya. “Shil, hari ini mau liat yang latihan lagi?”

“Gue mau langsung pulang Fy. mau nganter mama belanja. Sorry ya Fy..”

“Eh gak papa kok…” Ify tersenyum.

“Gue duluan ya Fy..” Ify menagngguk. Ia menatap punggung Shilla yang lama-lama menghilang. Apa Ify harus menonton sendiri? Ia jadi teringat kata-kata ibunya kemarin. Apa ia harus bertemu dengan laki-laki itu? Ify menggeleng. Ia tak mau punya ayah baru. Terlebih ayah tiri. Ify sudah cukup senang hanya hidup dengan ibunya. Toh semua kebutuhan Ify terpenuhi hanya dengan ibunya yang bekerja.

Akhrnya Ify memutuskan untuk menonton sendiri. Walaupun pasti ia akan kesepian, tapi ia bisa mempelajari teknik teknik menyerang dan menjaga diri yang diajarkan dalam klub karate itu. Ify tersenyum pasti, lalu melangkah mejuju lapangan.

Latihan baru dimulai sejak tiga puluh menit yang lalu –termasuk pemanasan-, namun Ify sudah menarik dirinya mundur merepat ke dinding kelas yang ada di belakangnya –dekat lapangan-. Begitupun dengan anak-anak berseragam putih khas pakaian untuk karate. Hujan turun tanpa terduga. Padahal sejak pagi tadi mendung tak terlihat. `

“ Ify duduk di bangku panjang depan kelas terdekat, ia memeluk tasnya, mulai kedinginan.

“Gue kira elo gak aka nada kerna Shilla mau nganterin nyokap” Ify mendongak. Dilihatnya Rio yang juga berpakaian putih-putih itu ada di sampingnya. Ify melengos –pura-pura- tak mau mendengarkan celotehan Rio yang sepertinya tak penting itu.

“gue sama Shilla itu sodaraan loh” walaupun tak peduli, Ify memasang telinganya. Rio dan Shilla sodaraan? Sepupuan maksudnya?

“Jadi wajar kan kalau gue sama Shilla deket.”jelasnya. ia hanya ingin member tahu Ify bahwa dirnya dan Shilla hanya saudara. Mereka tak punya hubungan khusus seperti pacaran misalnya.

 Hujan turun makn deras. Ify memeluk tubuhnya dengan kedua tangannya. ia sama sekali tak ingin menanggapi apa yang keluar dari mulut Rio. Mau Shilla sodaranya, kembarannya, pacarnya atau siapapun Ify tak peduli.

“Elo berapa bersaudara Fy?” memang siapa yang mau menjawab pertanyaan Rio? Ify malah mengusap lengannya. Hidungnya mulai tak beras. Ify tau sebentar lagi ia pasti bersin-bersin.

“Gue anak tunggal” jawabnya, mengingat kata-kata Rio tempo hari. ia tak mau Rio lagi-lagi bilang ‘elo grogi mau ngomong sama gue?’

“hacim..” nah, baru saja beberapa menit, hidung Ify mulai memerah. Arelginya kambuh lagi. “Hacim..” lagi-lagi Ify bersin. Ia segera mengambl tisu d dalam tasnya. Salnya hari ini ia tak membawa sweater. “Hacim..” hidung Ify makin memerah saja. tangannya sibuk menutup hudungnya dengan tisu.

“Elo kenapa?”Tanya Rio khawatir? Ify hanya menggeleng. Sekali lagi Ify bersin. “Elo kedingnan?”

Ify tak menjawab. Ify terus bersin hampir setiap detik. Hidungnya kian merah saja. tisunya pun sudah hampr habis. Mata Ify mulai memerah.

Rio yang tak tau harus bangaimana langsung mengeluarkan jaketnya. Dengan ragu –takut Ify tak suka- ia menyampaikan jaketnya di bahu Ify. Gadis itu langsung menoleh.

“Gak usah” Ify melepas jaket Rio. Rio menggeleng. Ia tetap keukeuh menyampaikan kembali jaketnya di bahu Ify. “Rio gak usah!” kini nada bicanyanya meninggi. Ify tak suka merepotkan orang. Ify tak suka laki-laki menolongnya.

Namun rio tetaplah Rio. ia tetap berusaha menyampaikan jaketnya di bahu Ify agar ia tak lagi kedinginan. alergi fy makin parah. Sekarang ia bersin hampir tak berhenti. Akhirnya Ify mengalah. Ia memakai juga jaket Rio karena tak mau alerginya membuatnya sakit berkepanjangan dan harus selalu berada di rumah.

“jaketnya di sleting Fy” katanya. Ify menurut. Ia memang kedinginan. tak lama, bersinnya sedikit berkurang. Tak lagi sesring tadi. Rio tersenyum. Ia senang Ify mau menerima bantuannya.

Walaupun jaket –kebesaran- milik Rio sudah membalut badannya, Ify tetap memeluk tubuhnya dengan kedua tangannya. rio masih tersenyum. Ia sangat bahagia saat ini. Ify ada di sebelahnya, mereka mengobrol walau sedikt, dan kini Ify memakai jaketnya.

Rio masih memperhatikan Ify. Bibirnya memutih. Hidungnya juga masih merah. Tak sadar, tangannya terangkat menghampiri rambut Ify dan menyelipkannya di belakang telinga gadis itu.

“Elo cantik” Rio tersenyum. Kini mereka memang hanya berdua di sana. Teman-tema Rio yang tadi latihan karate entah sudah pergi kemana.

 Bukan hanya hidungnya saja yang memerah, pipnya pun mulai menampakan tanda-tanda akan berwarna seperti hidungnya. Ify tak pernah mendapatkan perlakuan seperti ni dari seorang laki-laki.

“Eh..” keduanya tersadar dengan getaran handphone Ify yang ada di dalam tasnya. Ify segera mencari handphonenya, tak peduli dengan Rio yang masih saja memerhatikan wajahnya.

“Halo…Ify masih di sekolah…… oke, terserah” Ify kembali menyimpan handphonenya ke dalam tas.

***

“Ayo kita makan. Ify juga pasti belum makan kan?” Ify hanya melengos dan terus saja berjalan tanpa mempedulikan dua orang yang tadi berada dalam satu mobil bersamanya. “Fy..” mamanya kembali menyerukan namanya. Ify tak peduli, ia terus saja berjalan menuju kamarnya.

“Ify gak laper. Ify cape..” katanya dan di akhiri dengan dentuman keras pintu yang ditutup kasar oleh Ify. Ibunya hanya bisa mengelus dada. Tentunya ia sangat kecewa dengan tingkah laku anaknya ini.

“Kalau Ify gak mau gak usah di paksa” Shintia –mama Ify- pun tersenyum pada laki-laki di sampingnya ini. “Ify pasti butuh waktu untuk menerima keberadaanku” lagi-lagi Shintia hanya bisa tersenyum. Tentunya bukan hanya dirinya yang kecewa, laki-laki ini pun pasti kecewa.

“Aku gak tau sampai kapan anak itu akan seperti itu”

“Sudah lah, jangan terlalu dipikrkan. Ify hanya butuh waktu. Dia juga belum mengenalku dengan baik. Aku yakin, suatu saat nanti Ify akan terbiasa dan menerima keberadaanku di keluarga ini” Shintia pun mengangguk. Ya, Ify memang hanya membutuhkan sedikit waktu untuk membiasakan adanya calon ayahnya ini.

“Tapi, aku senang melihat laki-laki yang tadi bersama Ify di sekolah” Pratama – laki-laki itu- mengerutkan kening. Memang saat menjemput Ify tadi di sekolah, Ify tak terlihat sendiri. Ada seorang laki-laki menemaninya, walaupun mereka tak terlihat sedang mengobrol.

“Aku yakin, jaket yang Ify pakai tadi itu punya laki-laki itu. semoga saja setelah Ify punya teman laki-laki ia bisa menerima keberadaanmu” sedikt harapan tersirat di dalam benak Shintia. Ia merasa lega saat melihat laki-laki itu. entah mengapa, Shintia yakin laki-laki itu bisa menjaga Ify dan membuat Ify tak terlalu antipati pada laki-laki.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar