About Us [03] Harapan..
“Mau
duduk dimana?” Ify maupun Prissy sama-sama celingukan mencari tempat
yang cocok untuk mereka makan. “Disana aja yuk?” Ify menunjuk kantin
bagian atas dengan telunjuknya. Prissy yang melihat kemana jari Ify
menunjuk langsung mengangguk menyetujui.
“Mau makan apa
Fy?” Tanya Prissy setelah mereka menempati bangku dengan meja berpayung
dengan gambar salah-satu logo minuman di sisi payung itu. Kantin bagian
atas ini memang hanya berisikan bangku-bangku seperti bangku yang Ify
dan Prissy tadi. Tentunya payung itu bukan hanya sebagai hiasan. Tapi
juga pelindung dari panasnya matahari karena kantin ini ada di ruang
terbuka.
“Gue pengen bakso”
“Kayak biasa?”
“Iya
lah. Masih inget kan?” Prissy mengangguk mantap. Setelah melihat Ify
duduk manis di bangku yang akan mereka tempati, Prissy segera pergi
menghampri tukang bakso langganan mereka. Kali ini Prissy yang kebagian
tugas untuk memesankan makanan mereka.
Ify menyimpan buku
tulis matematikanya. Hari ini ada ulangan. Sambil menunggu Prissy dan
pesanan baksonya, ia kembali mempelajari cara-cara mengerjakan limit
fungsi.
“Fy.. sendirian?” Ify mendongak, melihat siapa yang datang. Shilla, gadis itu kini berdiri di depannya. Sendirian.
“Enggak. Sama Prissy kok. Dia lagi pesen makanan” jawabnya. “Elo sendirian?”
“Eh
Engg..ngak kok. Elo cuma sama Prissy doang kan? Boleh ya gue ikut
disini. Disana udah penuh” Shilla tersenyum memelas. Sebenarnya, kalau
mau Shilla bisa menempati meja kosong yang ada di pojok kantin di dalam
sana. Saat Shilla lewat, ada meja kosong yang sepertinya cukup untuk
empat sampai enam orang. Untung saja Ify tak melihat.
“Boleh
lah. Emang ini kursi siapa sampe gak boleh di dudukin. Hehe” Ify
tertawa. Shilla menghela nafas lega. Lalu ia segera duduk di depan Ify.
“Gimana ulangan matematika? Udah siap?”
“Hah?” Shilla yang
sedang celingukan mengalhkan pandangannya untuk menatap gadis d
depannya ini. “emm.. ya gitu deh Fy. sesiap-siapnya gue, kalau
matematika pasti elo lebih siap dari gue”
“Dasar!” Ify
hanya tersenyum. Shilla memang lemah di mata pelajaran matematika. Tapi
kalau sudah menyangkut Biologi, gadis itu jagonya. Shilla ingin jadi
dokter, sama seperti ibunya.
Ify menunggu Prissy, dan
Shilla terlihat sedang menunggu seseorang. Sambil menunggu, Ify kembali
tenggelam dengan buku cacatan matematikanya. Sedangkan Shilla asik
dengan handphonenya.
“Eh ada Shilla.. gak makan Shil?”
Shilla menoleh dan tersenyum. Ternyata ada Prissy. Gadis itu membawa dua
mangkok berisi bakso. Shilla menggeser duduknya. Membiarkan Prissy
duduk di tempatnya tadi. Di depan Ify.
Prissy menyimpan dua mangkok bakso itu di meja. Satu didepannya, satu lagi di dekat buku catatan Ify.
“Sendirian
Shil? Gak makan?” Prissy kembali bertanya sambil mengaduk bakso di
dalam mangkuknya. Shilla memasukan handphonenya ke dalam saku roknya
setelah dirasa orang yang tadi dihubungnya dapat mengetahui
keberadaannya.
“Enggak sendirian kok. Ini juga lagi
dipesenin makanan” Prissy membulatkan bibrnya, kemudian memasukan
baksonya ke dalam mulutnya. Prissy tadi melihat Rio di tempat penjual
bakso. Sepertinya Shilla sedang menunggu Rio. Karena biasanya, setiap
istirahat Shilla salalu bersama Rio.
“Fy, dimakan. Urusan
ulangan matematika nanti dulu deh” Ify mendongak lalu melirik mangkuk
baksonya saat Prissy mengingatkan baksonya sudah datang. Ify hanya
menunjukan deretan bibirnya yang terpagar rapih.
“Tanggung”
katanya, lalu membalik halaman buku catatannya. Tak lama, seseorang
menyimpan dua mangkuk bakso di meja yang mereka tempati.
“Nih..”
kerena tak ada tempat lagi, Rio duduk sebelah Ify, di depan Shilla. Rio
mendorong semangkuk bakso ke depan Shilla, lalu menarik semangkuk lagi
untuknya. “Hai Fy..”
Mendengar suara itu, Ify mendongak,
lalu mengerutkan kening. Ia melirik pada Shilla meminta penjelasan.
Namun gadis itu malah asik dengan mangkuk baksonya. Ia juga melirik
Prissy yang sepertinya tak keberatan dengan kehadirian Rio di meja
mereka. kenapa juga ia harus meminta penjelasan dari Shilla?
Ify
tak membalas sapaan Rio. Ia menatap bukunya, menyimpannya bangku
panjang yang di dudukinya –diantara dirinya dan Ro- lalu menarik mangkuk
baksonya. Tentu saja ia tak ingin menghabiskan banyak waktu di sini.
Mana Rio duduk di sampingnya.
“Pris, ini kayak biasa kan?”
Prissy mendongak. Lalu mengangguk. Ia ingin membuka mulut, tapi
dimulutnya masih ada bakso yang belum selesai ia kunyah. Setelah masuk
semua ke dalam kerongkongannya, barulah Prissy bicara.
“Udah
Fy. garemnya setengah sendok teh, gak pake bawang goreng. Sambelnya
satu sendok teh” Ify tersenyum, mawakili mulutnya yang ingin berkata
–elo-emang-sahabat-yang-paling-pengertian-. Berbeda dengan fy, Shilla
dan Rio malah sedikit terkejut saat mendengar apa yang baru saja Prissy
katakan. Tentang selera makanan Ify.
“Eh Fy, selera makan
elo sama kayak gue ya?” Rio tersenyum bangga. Ify hanya mendongak
menatap tak suka. “Cobain deh. Pasti rasanya sama” Rio mendorong mangkuk
baksonya ke dekat Ify. Ify hanya melengos. Tak ingin mencicipi dan sama
sekali tak penasaran dengan rasa bakso yang sedang Rio makan.
“Wah,
kebetulan banget ya” fy melotot. Kenapa Prissy jadi ikut-ikutan
menanggapi laki-laki ini? malah sepertinya Prissy yang lebih tertarik
daripada drinya.
“Bukan cuma sama, tapi sama
persis.”Shilla anusias. Lagi-lagi ia menemukan kemiripan diantara Ify
dan Rio. Shilla makin penasaran. Ia jadi makin semangat menjodohkan Ify
dengan Rio.
“Eh Fy, kemarin gue liat Ray di TV. Aaaa gue
seneng banget…” dengan mata berbinar Prissy mengganti topk pembicaraan,
karena melihat ketidaksukaan pada raut wajah Ify. Ia baru ingat kemarin
saat sedang menonton televisi, Prissy tak sengaja melihat Ray, Raynald
Prasetya –salah satu finalis ajang pencarian bakat di salah satu stasiun
televisi swasta-. Prissy sangat menyukai drummer cilik itu sajak
pertama ia melihat Ray di televisi.
“Oh ya? Emang ada di
mana?” Ify menganggapi tak kalah antusias. Mungkin hanya Ray
satu-satunya laki-laki yang tak Ify benci. Selain Ify memang menyukai
cara Ray menggebuk drumnya, wajahnya yang imut pun membuat Ify
ikut-ikutan Prissy menyukai Ray.
“Dia main sinetron. Elo
harus liat deh –” Ify dan Prissy terlarut dalam obrolan tentang Raynald
Prasetya. Ify benar-benar mengacuhkan Rio yang tadinya berniat mengobrol
dengan Ify. Rio dan Shilla yang tak tau menahu tentang siapa Raynald
Prasetya itu hanya diam. Melihat Ify yang begitu antusias mendengar
cerita Prissy membuat Rio percaya pada kata-kata Shilla kemarin. Melihat
Ify yang ceria sambil tersenyum saat Prissy memuji Raynald Prasetya
membuat Rio percaya Ify tak terlihat seperti orang yang pendiam. Tapi,
kenapa Ify begitu dingin padanya? bahkan Ify bisa mengeluarkan banyak
kata untuk menanggapi Prissy yang bercerita tentang Raynald Prasetya
itu. tapi, kenapa hanya tiga huruf saja yang Ify berikan padanya
kemarin?
***
“Mau liat yang karate lagi?”
Ify mengangguk. Dengan cepat ia memasukan buku-bukunya ke dalam tas.
“gue pulang duluan ya Fy. sebenernya sih gue mau menenin elo. Tapi gue
mau mulai les gitar lagi hari ini”
“Oke oke. Gak masalah
Pris, lagian Shilla suka nemenin kok. Sukses ya belajar gitarnya”
setelah selesai memasukkan buku-bukunya, Prissy melambakan tangannya
lalu meninggalkan Ify.
Ify menghela nafas, lalu mendongak pada Shilla yang duduk tak jauh di belakangnya. “Shil, hari ini mau liat yang latihan lagi?”
“Gue mau langsung pulang Fy. mau nganter mama belanja. Sorry ya Fy..”
“Eh gak papa kok…” Ify tersenyum.
“Gue
duluan ya Fy..” Ify menagngguk. Ia menatap punggung Shilla yang
lama-lama menghilang. Apa Ify harus menonton sendiri? Ia jadi teringat
kata-kata ibunya kemarin. Apa ia harus bertemu dengan laki-laki itu? Ify
menggeleng. Ia tak mau punya ayah baru. Terlebih ayah tiri. Ify sudah
cukup senang hanya hidup dengan ibunya. Toh semua kebutuhan Ify
terpenuhi hanya dengan ibunya yang bekerja.
Akhrnya Ify
memutuskan untuk menonton sendiri. Walaupun pasti ia akan kesepian, tapi
ia bisa mempelajari teknik teknik menyerang dan menjaga diri yang
diajarkan dalam klub karate itu. Ify tersenyum pasti, lalu melangkah
mejuju lapangan.
Latihan baru dimulai sejak tiga puluh
menit yang lalu –termasuk pemanasan-, namun Ify sudah menarik dirinya
mundur merepat ke dinding kelas yang ada di belakangnya –dekat
lapangan-. Begitupun dengan anak-anak berseragam putih khas pakaian
untuk karate. Hujan turun tanpa terduga. Padahal sejak pagi tadi mendung
tak terlihat. `
“ Ify duduk di bangku panjang depan kelas terdekat, ia memeluk tasnya, mulai kedinginan.
“Gue
kira elo gak aka nada kerna Shilla mau nganterin nyokap” Ify mendongak.
Dilihatnya Rio yang juga berpakaian putih-putih itu ada di sampingnya.
Ify melengos –pura-pura- tak mau mendengarkan celotehan Rio yang
sepertinya tak penting itu.
“gue sama Shilla itu sodaraan loh” walaupun tak peduli, Ify memasang telinganya. Rio dan Shilla sodaraan? Sepupuan maksudnya?
“Jadi
wajar kan kalau gue sama Shilla deket.”jelasnya. ia hanya ingin member
tahu Ify bahwa dirnya dan Shilla hanya saudara. Mereka tak punya
hubungan khusus seperti pacaran misalnya.
Hujan turun
makn deras. Ify memeluk tubuhnya dengan kedua tangannya. ia sama sekali
tak ingin menanggapi apa yang keluar dari mulut Rio. Mau Shilla
sodaranya, kembarannya, pacarnya atau siapapun Ify tak peduli.
“Elo
berapa bersaudara Fy?” memang siapa yang mau menjawab pertanyaan Rio?
Ify malah mengusap lengannya. Hidungnya mulai tak beras. Ify tau
sebentar lagi ia pasti bersin-bersin.
“Gue anak tunggal” jawabnya, mengingat kata-kata Rio tempo hari. ia tak mau Rio lagi-lagi bilang ‘elo grogi mau ngomong sama gue?’
“hacim..”
nah, baru saja beberapa menit, hidung Ify mulai memerah. Arelginya
kambuh lagi. “Hacim..” lagi-lagi Ify bersin. Ia segera mengambl tisu d
dalam tasnya. Salnya hari ini ia tak membawa sweater. “Hacim..” hidung
Ify makin memerah saja. tangannya sibuk menutup hudungnya dengan tisu.
“Elo kenapa?”Tanya Rio khawatir? Ify hanya menggeleng. Sekali lagi Ify bersin. “Elo kedingnan?”
Ify
tak menjawab. Ify terus bersin hampir setiap detik. Hidungnya kian
merah saja. tisunya pun sudah hampr habis. Mata Ify mulai memerah.
Rio
yang tak tau harus bangaimana langsung mengeluarkan jaketnya. Dengan
ragu –takut Ify tak suka- ia menyampaikan jaketnya di bahu Ify. Gadis
itu langsung menoleh.
“Gak usah” Ify melepas jaket Rio.
Rio menggeleng. Ia tetap keukeuh menyampaikan kembali jaketnya di bahu
Ify. “Rio gak usah!” kini nada bicanyanya meninggi. Ify tak suka
merepotkan orang. Ify tak suka laki-laki menolongnya.
Namun
rio tetaplah Rio. ia tetap berusaha menyampaikan jaketnya di bahu Ify
agar ia tak lagi kedinginan. alergi fy makin parah. Sekarang ia bersin
hampir tak berhenti. Akhirnya Ify mengalah. Ia memakai juga jaket Rio
karena tak mau alerginya membuatnya sakit berkepanjangan dan harus
selalu berada di rumah.
“jaketnya di sleting Fy” katanya.
Ify menurut. Ia memang kedinginan. tak lama, bersinnya sedikit
berkurang. Tak lagi sesring tadi. Rio tersenyum. Ia senang Ify mau
menerima bantuannya.
Walaupun jaket –kebesaran- milik Rio
sudah membalut badannya, Ify tetap memeluk tubuhnya dengan kedua
tangannya. rio masih tersenyum. Ia sangat bahagia saat ini. Ify ada di
sebelahnya, mereka mengobrol walau sedikt, dan kini Ify memakai
jaketnya.
Rio masih memperhatikan Ify. Bibirnya memutih.
Hidungnya juga masih merah. Tak sadar, tangannya terangkat menghampiri
rambut Ify dan menyelipkannya di belakang telinga gadis itu.
“Elo
cantik” Rio tersenyum. Kini mereka memang hanya berdua di sana.
Teman-tema Rio yang tadi latihan karate entah sudah pergi kemana.
Bukan
hanya hidungnya saja yang memerah, pipnya pun mulai menampakan
tanda-tanda akan berwarna seperti hidungnya. Ify tak pernah mendapatkan
perlakuan seperti ni dari seorang laki-laki.
“Eh..”
keduanya tersadar dengan getaran handphone Ify yang ada di dalam tasnya.
Ify segera mencari handphonenya, tak peduli dengan Rio yang masih saja
memerhatikan wajahnya.
“Halo…Ify masih di sekolah…… oke, terserah” Ify kembali menyimpan handphonenya ke dalam tas.
***
“Ayo
kita makan. Ify juga pasti belum makan kan?” Ify hanya melengos dan
terus saja berjalan tanpa mempedulikan dua orang yang tadi berada dalam
satu mobil bersamanya. “Fy..” mamanya kembali menyerukan namanya. Ify
tak peduli, ia terus saja berjalan menuju kamarnya.
“Ify
gak laper. Ify cape..” katanya dan di akhiri dengan dentuman keras pintu
yang ditutup kasar oleh Ify. Ibunya hanya bisa mengelus dada. Tentunya
ia sangat kecewa dengan tingkah laku anaknya ini.
“Kalau
Ify gak mau gak usah di paksa” Shintia –mama Ify- pun tersenyum pada
laki-laki di sampingnya ini. “Ify pasti butuh waktu untuk menerima
keberadaanku” lagi-lagi Shintia hanya bisa tersenyum. Tentunya bukan
hanya dirinya yang kecewa, laki-laki ini pun pasti kecewa.
“Aku gak tau sampai kapan anak itu akan seperti itu”
“Sudah
lah, jangan terlalu dipikrkan. Ify hanya butuh waktu. Dia juga belum
mengenalku dengan baik. Aku yakin, suatu saat nanti Ify akan terbiasa
dan menerima keberadaanku di keluarga ini” Shintia pun mengangguk. Ya,
Ify memang hanya membutuhkan sedikit waktu untuk membiasakan adanya
calon ayahnya ini.
“Tapi, aku senang melihat laki-laki
yang tadi bersama Ify di sekolah” Pratama – laki-laki itu- mengerutkan
kening. Memang saat menjemput Ify tadi di sekolah, Ify tak terlihat
sendiri. Ada seorang laki-laki menemaninya, walaupun mereka tak terlihat
sedang mengobrol.
“Aku yakin, jaket yang Ify pakai tadi
itu punya laki-laki itu. semoga saja setelah Ify punya teman laki-laki
ia bisa menerima keberadaanmu” sedikt harapan tersirat di dalam benak
Shintia. Ia merasa lega saat melihat laki-laki itu. entah mengapa,
Shintia yakin laki-laki itu bisa menjaga Ify dan membuat Ify tak terlalu
antipati pada laki-laki.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar