About Us [02]
Hari ini Ify dan Shilla kembali duduk di pinggir lapangan indoor
sekolah mereka. Karate. Sejak dulu, olah raga bela diri ini memang sudah
mencuri perhatian Ify. Bukan karena ada seseorang yang ia taksir di
club karate itu, Ify tertarik pada cara-cara melindungi diri yang
diajarkan di dalam club karate. Sempat Ify berniat mengikuti club karate
ini. Namun, setelah melihat kebanyakan anggota club karate ini –yang
kebanyakan laki-laki-, ify mengurungkan niatnya. Ia tak mau terlalu
banyak berurusan dengan laki-laki. Seperti yang pernah dikatakannya
dulu. Sebisa mungkin, ia akan menghindari kontak langsung dengan makhluk
yang bernama laki-laki.
“Shilla..” tiba-tiba wajah
seorang laki-laki menyembul di antara dua pintu jarring yang membatasi
lapangan dengan daerah luarnya. Konsentrasi Ify yang sedang
memperhatikan orang-orang yang sedang berlatih pun buyar. Panggilan itu
memang tertuju pada Shilla. Namun, karena suara itu cukup keras untuk
sampai ke telinganya, Ify pun ikut mendongak. Melihat siapa yang
mengganggunya.
“Eh, elo yang nabrak gue waktu itu kan?”
lagi-lagi Rio mengatakan kalimat itu. setelah peristiwa tabrakan antara
Rio dan Ify, tak sengaja Ify sering bertemu Rio. Dimana pun di sekolah
ini. di kantin, di koridor, di depan gerbang, di dekat toilet perempuan
pun kadang mereka bertemu. Tak bosan, setiap ia Rio bertemu Ify pasti
itu kalimat pertama yang dilontarkannya pada gadis cantik ini. Ify hanya
melengos saat mendengar rio mengucapkan kalimat itu lagi.
“Apaan
sh Yo. Udah deh gak usah mulai. Ify kan udah minta maaf, lagian Ify
juga gak sengaja. Ya kan Fy?” Ify hanya menarik tipis salah satu ujung
bibirnya. Malas menanggapi laki-laki macam begini.
“Iya deh Shilla.. gue juga kan Cuma bercanda.”
Dengan
tangannya yang kekar, ia memisah bahu Ify dan bahu Shilla yang
sebenarnya tak tertempel itu. dengan seenaknya Rio duduk di antara
mereka dan membuat dua gadis cantik itu harus menggeser duduk mereka
karena Rio memaksa duduk di tengah-tengah Ify dan Shilla.
“Ihh..
Rio apaan sih!!” Brukk.. pukulan pun dilayangkan Shilla di punggung
Rio. Seeaknya saja duduk sembarangan. Rio hanya tertawa. Puas melihat
Shilla yang sepertinya kesal.
Sedangkan Ify hanya diam.
Pandangannya kembali tertuju ke lapangan. Memperhatikan
orang-orang yang ada di dalam lapangan. Bedanya, kali ini orang-orang
yang tadi ada dalam barisan rapih sambil mempraktekan berbagai gerakan,
kini mereka duduk dimana pun sesuka hati karena mereka sedang
beristirahat. Begiru pun dengan Rio yang seenaknya duduk diantara
dirinya dan Shilla.
Disebelahnya, Rio dan Shilla
malah asik bercanda, meneruskan obrolan mereka yang menurut Ify sama
sekali tak lucu. Seolah Rio sengaja memisahkan dirinya dengan Shilla
yang tadinya duduk disampingnya.
Ify heran, mengapa Shilla bisa sedekat ini dengan Rio? Apa Shilla tak pernah meresa ketakukan Rio akan meninggalkannya?
“Ify,
gue ke kantin bentar ya?” Ify yang menoleh buru-buru mengangguk dengan
senyum di bibirnya saat Shilla menepuk pundaknya dan melangkah pergi
menuju kantin.
“Kayaknya, kita dulu sering ketemu deh” Ify
menoleh. Tiba-tiba teringat ternyata Shilla hanya pergi sendiri. Ify
juga baru sadar ternyata ia hanya berdua saja dengan Rio.
“Permintaan
maaf elo udah gue terima. Tapi.. kenapa elo titip ke Shilla? Kenapa elo
gak langsung aja bilang sama gue?” Ify melengos. Sepertinya keputusan
membiarkan Shilla pergi ke kantin bukanlah keputusan yang baik. Ify akan
lebih senang Shilla berada disini dan mereka berdua –Shilla dan Rio-
asik berdua dan tak mempedulikan dirinya ketimbang harus berdua dengan
laki-laki cerewet bertanya ini itu padanya. atau mungkin lebih baik Rio
tak ada disini saja sekalian. Itu pasti akan lebih baik.
“Lo
malu ya ketemu sama gue? Atau elo grogi mau ngomong sama gue?” Rio
tersenyum jahil, membuat Ify melotot. Apa tadi dia bilang? Grogi? Huh..
yang benar saja! semasa hidupnya, bahkan sampai detik ini pun Ify tak
pernah grogi saat harus berbicara pada seorang laki-laki. Mau Mario
Maurer sekali pun Ify menjamin dirinya tak akan grogi bila harus
berbicara dengan actor Thailan yang –memang- tampan itu.
“Oh
ya.. kita belum sempet kenalan kan? Secara resmi maksudnya.. yaa
walaupun gue yakin elo sebenernya udah kenal gue. Ya kan?” Ify mendelik,
lalu melengos. Laki-laki ini bener-benar menyebalkan bukan? Sudah
selalu berkata –elo- yang-nabrak-gue-waktu-itu-kan-?- padanya, ditambah
mulutnya yang sepertinya tak pernah berhenti mengoceh hal-hal tidak
penting yang sebenarnya tak perlu keluar dari mulutnya.
“Gue
Rio. Mario Stevano” katanya dengan senyum andalan yang biasanya bisa
melelehkan siapa saja yang melihatnya. Ia mengulurkan tangannya di depan
Ify.
Ify kembali mendelik. Ia melirik tangan Rio yang
terjulur di depannya. “Ify..” jawabnya singkat tanpa sama sekali
menyentuh –apalagi menjabat- tangan Rio yang terulur di depannya.
Dengan
ragu, Rio menarik kembali tangannya. Ia menggeruk tengkuk kepalanya.
Apakah senyumnya tadi kurang menawan? Atau kurang lebar sampai Ify tak
sama sekali ingin menjabat tangannya? biasanya kan senyum itu paling
manjur untuk menunjukan keramahannya di depan semua orang.
Rio
jadi mati gaya. Melihat Ify yang lurus lurus menatap ke arah lapangan
membuatnya seperti orang yang sedang melucu tapi tidak lucu. Mengerti
kan? Garing..
***
“Shil, Ify itu emang pendiam ya?”
“Huh?” Shilla mendongak. Shilla mencabut sedotan susu yang tadinya ada di dalam mulutnya. “ Enggak juga. Kenapa emangnya?”
“tadi
gue ngomong sama dia sepanjang yaa… kira kira.. satu dua .. emm lebih
dari seratus kata Cuma dijawab tiga huruf doang” Shilla mengangkat
kedua alisnya, perlahan tersenyum dan akhirnya tertawa. “Ye.. elo malah
ngetawain gue sih?”Rio mendorong bahu Shilla yang sedang tertawa.
Pura-pura kesal. Masa Mario ditertawakan?
“Seriusan? Emang elo ngomong apa aja?”
“Banyak sih.. ya elo tau kan gue itu orangnya kayak gimana”
“Terus Ify jawab apa?”
“Pas
gue ajak kenalan, ya dia jawab namanya Ify. Dia ngomong sama gue Cuma
tiga huruf coba. I eF dan Ye” Shilla makin ingin tertawa. Baru kali ini
ia mendengar ada yang bicara sependek itu dengan Rio. Shilla akui, Rio
memang orang yang asik-walaupun sering kepedean dan ceplas-ceplos-. Mana
mungkin ada yang bisa hanya mengeruarkan tiga huruf saja untuk
menaggapi cowok –cerewet- macam Rio.
“Di kelas, Ify gak sependiem itu. apalagi kalau udah sama Prissy”
“Siapa Prissy?” potong Rio.
“temen sebangkunya. Sahabatnya Ify gitu. Ify juga pinter. Dia aktif di kelas. Sama sekali gak pantas disebut pendiam”
Rio
membulatkan bibirnya. Apa gadis itu punya kepribadian ganda? Saat
melihat gadis itu bersama Shilla di pinggir lapangan pun, Ify memang tak
terlihat pendiam. Ia sering melihat Ify dan Shilla tertawa berdua. Tapi
kenapa gadis itu terlalu kaku padanya? apa karena tabrakan itu?
“Eh
tapi Yo,, kayaknya Ify gak pernah keliatan deket sama cowok” Rio
mengangguk-angguk. Entah apa maksud anggukannya. “Eh, tapi tumben banget
elo tanya ini itu soal cewek?” Shilla tersenyum jahil. Membuat Rio
tiba-tiba melengos membuang muka. Mulai deh sifat Shilla yang selalu
menggodanya bila ia menanyakan seorang perempuan padanya.
“Elo suka Ify Yo?? Ciee…”
“Apaan
sih elo Shil” kalau saja Rio perempuan, ia pasti sudah menutup mukanya
dengan kedua tangannya. Rio tau, mukanya pasti sedang memerah sekarang.
Shilla tertawa renyah sekali. Membuat Rio makin sebal dengan gadis
cantik yang satu ini.
“Jadi beneran elo suka Ify?” Rio
menggaruk tengkuk kepalanya. Mau bagaimana lagi? Ia memang tak pernah
menyembunyikan apapun dari Shilla.
“Dari dulu, gue emang
udah naruh perhatian sama dia. Selagi ada kesempatan gue bisa kenal sama
dia, kenapa enggak?” mati-matian Rio menyembunyikan segela perhatian
yang selama ini ia berikan pada gadis itu dari Shilla. Kalau memang
harus ketahuan, ya sudah lah. Toh Shilla juga bukan siapa-siapa. Mungkin
saja Shilla bisa member jalan untuk dirinya berkenalan dengan Ify.
“ohh..
jadi sekarang Ify ya? Haha.. tenang, nanti gue bantuin deh supaya elo
bisa deket sama dia” Shilla kembali tertawa. Geli sendiri melihat muka
kemerahan Rio saat ia menanyakan apakah Rio menyukai Ify atau tidak.
Entah mengapa Shilla sendiri sangat ingin akrab dengan Ify. Gadis itu
seperti memiliki sesuatu yang membuat Shilla tertarik untuk berteman
dengannya. Mungkin itu juga yang dirasakan Rio.
***
“Ify…”
Ify memejamkan matanya sejenak. Baru saja ia menjatuhkan dirinya di
atas kasur empuk di dalam kamarnya, suara ibunya terdengar memanggil.
Dengan –sedikit- malas, Ify kembali bangun, kemuar kamar dan mendongak
ke bawah dari tangga . terlihat ruang keluarga dari tempat ia berdiri.
“Apa ma?” Tanya Ify. Ibunya mendongak. Ternyata anaknya memang sudah ada di rumah.
“Mama
dengar ada yang membuka pintu. Ternyata kamu memang sudah pulang” ify
pun hanya tersenyum singkat, lalu kembali berniat pergi menuju kamarnya.
Sejak ibunya memberitahu tentang rencana perenikahannya, Ify jarang
sekali berkomunikasi dengan ibunya.
“Eh Fy..” Ify mengurungkan niatnya lalu kembali mendongak ke bawah.
“Kenapa ma?”
“Besok kamu pulang jam berapa?”
“Sampai sore mungkin” katanya.
“Kamu ngapain aja sampe sore begitu?”
“Memangnya kenapa? Mama udah gak percaya sama aku?”
“bukannya
begitu Fy. mama Khawatir..” Ify diam. Memang tidak baik berlaku seperti
itu pada orang tua. Terlebih pada ibunya sendiri. “Besok kamu bisa
langsung pulang kan?”
“tergantung. Kalau mama suruh aku
pulang cepet buat ketemu sama laki-laki itu, aku gak akan pulang secepat
itu” Ify melengos. Ia segera masuk ke dalam kamarnya dan membanting
pintunya keras-keras.
Wanita parus baya itu menarik nafas dalam. bagaimana caranya meyakinkan Ify?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar