Minggu, 26 Januari 2014

Setia (Cerpen)

Setia

“Maaf..”

Ify sama sekali tak ingin membantah apa yang baru saja laki-laki di depannya ini tuduhkan padanya. Gadis itu membenarkan semua yang dikatakan laki-laki ini, tak dilebih-lebihkan atau dikurangi sedikitpun.

“Maaf?” Rio itu tersenyum kecut. Kedua lengannya mengepal kuat. “Kamu gak sama sekali ingin membela diri?”


Ify menggeleng. Tak ada gunanya membela diri. Toh memang dirinya yang bersalah. Dirinya yang merusak apa yang telah mereka bangun selama ini.

“Apa sih yang kamu cari dari dia?” Ify tak menjawab. Gadis itu malah semakin menundukan kepalanya.

Rio berdecak kesal. “Apa Fy? Apa yang aku gak punya dan cowok itu punya?”

Ify itu kembali diam. Yang terdengar hanya isak tangis gadis mungil itu.

“AAARRRRGGGHHH...” Ify terkejut. Tiba-tiba saja ia melihat cermin di kamarnya pecah dan sebagian kacanya tergeletak di atas lantai.

Air matanya kian menderas. Ia tak pernah melihat Rio semarah ini sebelumumnya. Rio yang sangat lembut berubah menjadi makhluk asing yang tak pernah ia temukan sebelumnya.

Rio mendengar isakan Ify semakin mengeras. Semuanya tambah kacau ketikan isakan gadisnya itu merasuki telinganya. Semua rasa bercampur menjadi satu. Kesal, marah, tapi ia tak bisa melihat gadisnya ini terluka

Tak ada seorangpun yang ingin di khianati. Tak ada seorangpun yang bisa menerima gadis yang selama ini dijaganya sepenuh hati, di sayanginya, bahkan sangat ia cintai membagi hatinya untuk orang lain.

“Kamu gak berusaha untuk mempertahankan hubungan kita?”  lagi-lagi gadis itu bergeming. Rio mendecak kesal.

“Mau kamu apa sih Fy? Kamu nunggu aku putusin kamu?” Ify mendongak. Kali ini langsung menatap Rio takut. Ify tahu Rio benar-benar kecewa padanya. Matanya mengisyaratkan seakan ingin berkata ‘bilang semua ini bohong’.

Ify hanya bisa kembali menunduk. Entahlah seperti apa harus menggambarkan perasaannya sekarang. Ia sangat mencintai Rio. Tapi dirinya bisa apa?

“Ngomog Fy! Kamu mau aku putusin sekarang juga?” Ify menggeleng keras. Bahunya semakin bergetar. gadis itu makin menenggelamkan kepalanya, menatap ubin putih dengan bercak merah di depan kaki mungilnya.

Bercak merah?

Ify sedikit mendongakan kepalanya. dilihatnya bercak merah itu berasal dari punggung tangan kanan Rio.

Tanpa pikir panjang, Ify menarik lengan Rio mendekati kotak p3k yang selakamu ada di dalam kamarnya.

“Maaf..” dengan tangan bergetar Ify meneteskan tetes demi tetes betadin di atas punggung tangan Rio.

“Maaf..”

“Maaf..”

“Maaf..”

Hanya itu yang Rio dengar dari mukamut gadis itu. Tangisnya semakin menderas. Sesekali gadis itu terlihat menyeka air matanya. Tanganya yang memegang betadin pun semakin kuat bergetar, membuat cairan coklat pekat itu tak menyentuh bagian luka pada punggung tangan Rio.

“Aku gak tau harus ngejelasin apa sama kamu. Aku yang salah. Aku yang bego, aku yan gak bisa jaga kepercayan kamu.” Rio bisa melihat Ify makin tak bisa mengontrol tangisnya. Botol betadin yang di pegangnya pun kini sudah lepas jatuh ke lantai.

“Aku yang salah. Aku udah buat kamu kecewa. Aku yang harusnya di kasih pelajaran. Aku yang harusnya dapet luka kayak gini.” Ify menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Gadis itu menangis.

“Maaf..” Ify kembali berkata lirih. Tiba-tiba saja kakinya membawa gadis itu menghampiri pecahan cermin yang tergeletak begitu saja di lantai.

“Aku yang harusnya dapet sakit ini..” Ify nemusukan ujing cermin tajam yang diraihnya itu tepat ke punggung tangannya.

“Ify, kamu apa-apaan?” Rio segera meraih lengan Ify, menghentika aktivitas gadis itu untuk mlukai punggung tangannya.

“Lepas Yo. Aku harus ngerasain gimana sakitnya kamu.” Ify menarik tangannya, kembali ia menusukan ujing pecahan cermin itu pada punggung tangannya.

“Ify berhenti!!” Rio kembali menarik lengan Ify. Namun Ify tetap berontak.

“Aku yang salah Yo.. aku yang salah..” gadis itu bersikeras mempertahankan pecahan cermin di tangannya.

“Ify, berhenti..” akhirnya Rio memeluk gadisnya itu, lalu membuang pecahan kaca di tangan Ify. Memeluknya erat. Merasakan kepedihan yang Ify rasakan. Ia tak bisa melihat gadisnya ini menyiksa diri sendiri.

Sejurus kemudian, Rio melepas pekamukannya. Ify sudah mulai tenang walaupun isakan-isakan kecil masih saja terdengar darinya.

“Aku gak mungkin bisa liat kamu terluka.” Rio mengusap lembut pipi Ify. Menghapus air mata yang masih belum berhenti mengalir di pipi merahnya.

“Mungkin ini kesalahan terbesar kamu sama aku. Tapi aku gak pernah bisa liat kamu kayak gini.”

“Kerena kamu sendiri pernah bilang, menurut novel yang pernah kamu baca, jika kamu mencintai seseorang dan orang itu berbuat kesalahan, kamu gak mungkin bisa tiba-tiba berhenti mencintai orang itu.” Rio menghela nafas. “dan itu pun berlaku buat aku. Aku gak akan tiba-tiba lupa sama semua yang aku punya buat kamu. Mungkin aku cuma ingin kasih kamu kesempatan.”

Rio kembali menarik nafas berat. Entah benar atau tidak keputusannya ini.

“Kamu boleh pilih dia, kalau memang itu bisa bikin kamu bahagian. Tapi aku gak akan mutusin kamu, sampai kamu yang minta.”

“Sekarang, apa kamu pengen hubungan kita sampai disini aja?” Ify menggeleng cepat. Ia tak pernah mau putus dengan Rio. Sekalipun Ify pernah menduakan laki-laki ini, namun tak sedikit pun terbesit di pikirannya untuk berpisah dengan laki-lakinya ini.

“Makasih kerna kamu masih mau mempertahankan aku.” Rio kembali memeluk gadis ini. Sampai kapanpun ia tak akan rela melepas gadis ini. Kecuali gadisnya sendiri yang meminta dirinya untuk melepaskannya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar