Senin, 06 Agustus 2012

About Us [08] Perhatian Alvin. Nasihat Shilla


About Us [08] Perhatian Alvin. Nasihal Shilla..

Alvin jadi bingung. Sejak ia berada di rumah ini, Alvin memang hanya bisa diam, memperhatikan dua perempuan di depannya. Tak jauh beda dengan Prissy –gadis yang duduk di sebelah mama Ify-, gadis itu pun tak bicara sejak ia sampai ke rumah ini. Kebetulan saja Alvin bisa tau namanya dari name tag di seragam sekolahnya.


Ify hilang. Hanya itu yang ia ketahui. Alvin memang baru bertemu dengan Ify satu kali, dan ia tak pernah tau apa-apa tentang Ify. Sejak tadi pagi, Alvin dan mama Ify hanya bisa berkeliling tak jelas menghabiskan bensin untuk mencari anak sematawayang calon ibunya itu. Nyatanya sampai jam pulang sekolah Ify tak kunjung ditemukan. Setelah dilanjutkan bersama Prissy setelah pulang sekolah pun hasilnya tetep sama. Ify tak di temukan dimanapun.

Drrttt..drrttttt..

Getaran ponsel di saku celananya mengagetkan Alvin.  Alvin merogoh saku celananya dan melihat layar ponselnya.

Ayah

Alvin segera beranjak, lalu dengan sedikit membungkuk ia meminta ijin pada Prissy yang sepertinya terganggu dengan gerak-geriknya –karena memang tak ada yang bisa di lakukan- dan menjauh dari dua perempuan itu.

“Haloo, kenapa yah?”

“Ify udah ketemu?” memang tak ada lagi yang bisa ayahnya tanyakan selain pertanyaan itu. Ayahnya memang tak sedang berada di kota yang sama. Karena tugas dari kantor, kemarin sore ayah pergi ke luar kota.

“Belum. Alvin sama tante Shintia udah cari keliling-keliling tadi. Tapi Ify gak ada di mana-mana.” Terdengar ayahnya menghela nafas. Alvin tau, ayahnya tak kalah cemas. Menurut cerita ayah, ayah lah yang pertama dikabari tante Shintia tentang hilangnya Ify.

“Kamu jangan berhenti cari Ify ya Vin. Kamu temenin tante Shintia. Ayah janji setelah semuanya selesai, ayah pasti langsung pulang.”

“Ayah gak usah khawatir. Tante Shintia udah Alvin anggap seperti ibu Alvin sendiri.” Setelah mendengarkan beberapa kalimat dari ayahnya, Alvin menutup sambungan teleponnya. Ia kembali ke ruang kemuarga rumah Ify. Tempat dimana tadi mama Ify dan Prissy berada.

“Lho? Tante Shintia kemana?” prissy yang sedang menunduk memandang ponselnya pun mendongak. Laki-laki jangkung berkulit putih itu berdiri menunggu jawban darinya.

“Tante Shintia di kamar. Beliau pasti kecapean, sekarang lagi istirahat” Alvin membulatlkan bibirnya. Ia kembali duduk di tempat tadi. Di sofa lain sebalah sofa yang Prissy tempati.

Keheningan kembali menyelimuti ruangan yang tak lebih besar dari ruang kelas Prissy. Ia kembali melihat Alvin yang diam, melamun. Matanya menatap kosong ke sembarang arah. Prissy benar-benar bisa melihat raut ke khawatiran di sama. Baru saja pertama bertemu, Prissy yakin Alvin orang yang baik. Kalau memang Alvin tak peduli dan bersikap seperti Ify kepada keluarga Alvin, Alvin tak akan terlihat secemas ini dan serepot ini mengurusi tante Shintia dan membantu mencari Ify. Kalau Alvin tak ada, pasti dirinya dan mama Ify akan kelabakan dan panik.

“Tante Shintia itu udah seperti mama saya sendiri. Tante Shintia sangat baik.” Prissy sedikit tersentak. Akankah laki-laki itu melihat ia sedang memperhatikannya? Prissy menunduk, menyembunyikan rasa malu yang mulai menjalar ke pipinya dan membuatnya sedikit bersemu.

“Saya sayang sekali pada tante Shintia.” Prissy kembali menata perasaannya. Bukan saatnya malu. Prissy kembali menatap Alvin.

“Mungkin ayah memperkenalkan tante Shintia pada saya lebih dulu dari tante Shintia memperkenalkan Ify pada ayah. Mungkin itu yang membuat saya lebih mengenal tante Shintia.” Prissy juga mengira seperti itu. Karena baru sekitar seminggu yang lalu Ify menceritakan bahwa ibunya ingin menikah lagi.

“Saya juga baru sekali bertemu Ify. Menurut saya, Ify itu cenderung tertutup dan umm.. sedikit menyebalkan.” Walau sebenarnya Prissy tak pernah merasa Ify menyebalkan, dari ceritanya Ify kemarin Prissy tau apa yang membuat Alvin bisa berkata Ify orang yang menyebalkan.

“Sebelumnya, saya semangat sekali untuk bertemu Ify. Ayah bilang Ify anak yang manis. Dari dulu, saya memang ingin punya adik perempuan. Tapi setelah saya bertemu dengannya, dia bersikap seperti itu.” Kini laki-laki itu tersenyum samar. Kembali  mengingat saat mereka berempat pergi bersama. Ify selalu memilih sesuatu yang paling mahal. Sampai ayahnya kewalahan tapi sama sekali tak terlihat keberatan. Ia ingat betul saat ia berusaha protes pada ayahnya dengan kelakuan Ify itu, ayahnya hanya berkata ‘Biarlah ini jadi kenang-kenangan pertama untuknya’.

“Ayah melarang keras saya untuk balik bersikap seperti Ify bersikap pada kami. Saya memang belum mengenal gadis itu. Saya gak tau apa yang bikin dia bersikap seperti itu. Mungkin dia memang tak suka dengan keberadaan kami. Tapi sekali lagi ayah berhasil meyakinkan saya, anak tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Tante Shintia yang begitu baik jadi tolak ukur saya untuk meyakini bahwa Ify juga sebenarnya anak yang manis.” Prissy benar-benar tak menyangka Alvin dan Ayahnya begitu bijaksana menghadapi tingkah laku Ify. Bukan hanya tampan, tapi Alvin juga baik hati.

“Kamu tau kenapa Ify bisa sampai pergi dari rumah?” Prissy sedikit tersentak. Tak pernah sedikitpun Ify melewatkan untuk mencertakan keluh kesahnya padanya. Apa Alvin harus tau? masalahnya, kemungkinan terbesar Ify pergi dari rumah, itu ya karena ia tak mau menerima Alvin dan ayahnya untuk menjadi anggota keluarga barunya. Haruskah ia memudarkan harapan Alvin dan ayahnya untuk mengambil hati Ify?

“Ify memang sedang bersama saya sebelum dia menghilang. Saat akan pergi ke sekolah, Ify tiba-tiba menangis dan akhirnya saya bawa pulang ke rumah saya. Saat itu Ify hanya menangis. Akhirnya saya memutuskan untuk membeli cemilan untuk kita berdua.” Sivia menghela nafas. Ia manatap Alvin. Laki-laki itu sedang melihat padanya. Prissy tau Alvin sedang menunggu kelanjutan ceritanya.

“Tapi, saat saya sampai di rumah, Ify menghilang. Ia hanya meninggalkan catatan kecil. Ia akan pulang. Saya gak lagi khawatir. Saya pikir Ify sudah merasa tenang dan akhirnya pulang. Ify tak sempat cerita apapun.” Prissy menggigit bibir bawahnya. Berharap Alvin percaya pada kalimat-kalimatnya barusan. Tentu saja Prissy berbohong. Ia tak bisa mengatakannya di situasi seperti ini.

Keduanya kembali terdiam. Prissy kembali melihat Alvin yang diam. Tiba-tiba terdengar pintu utama rumah itu di ketuk. Keduanya langsung tersentak. Mungkinkah itu Ify? Harapan pun kembali menyusup dua manusia yang hampir menyerah itu.

“Biar saya yang buka.” Alvin mengangguk. Lalu ia melihat Prissy berdiri dan meninggalkannya. Tak lama, gadis itu kembali.

“Kakak nenyuruh orang untuk datang kesini?”

“Ah..” Ya, Alvin hampir lupa. Tadi sore ia menyuruh pembantunya itu untuk datang ke rumah ini. Tentu saja Alvin tak akan membiarkan Shintia sendirian. Untuk mencegah hal yang tidak-tidak tentang mereka dari para tetangga, Alvin  menyuruh pembantunya itu kemari.

“Suruh masuk saja.” Prissy menurut, tak lama ia kembali dengan membawa wanita paruh baya ke depan Alvin.

Setelah Alvin memberi beberapa pengarahan pada pembantunya, Alvin kembali ke ruang keluarga rumah itu. Prissy masih ada di sana. Alvin tau, gadis itu pasti lelah.

“Lebih baik kamu pulang.” Prissy mendongak, terkejut mendapati Alvin yang kini berdiri tepat di depannya.

“Kamu pasti cape. Orang tuamu juga pasti khawatir.” Prissy pun mengangguk dan segera meraih tasnya.

“Saya mau pamit sama tante.”

“Gak usah. Jangan ganggu istirahatnya. Nanti saya yang sampaikan.”

Prissy tersenyum. “Baiklah. Terimakasih.”

“Mau saya antar?”

“Hngg..” Prissy terdiam. “Engg.. gak udah. Saya bisa pakai taksi.” Tolaknya halus. Prissy bukan tak percaya pada Alvin, apalagi setelah melihat apa yang telah dilakukannya seharian ini. Hanya saja Prissy tau Alvin pasti lelah. Ia tak mau menambah beban Alvin karena harus mengantarkannya.

“Saya pulang dulu kak..” katanya. Lalu ia berjalan manuju pintu depan. Ternyata Alvin mengekorinya. Laki-laki itu berhenti di ambang pintu.

“Mungkin saya akan lapor polisi besok. Hati-hati..” Prissy mengangguk. Uh, kalau saja dirinya ini Ify. Dengan senang hati Prissy akan menerima Alvin sebagai kakaknya.

“Prissy..”Saat akan membuka pagar, Prissy kembali menoleh saat terdengar Alvin menyerukan namanya. Alvin tau namanya? Ini pertama kali Alvin memanggil namanya.

“Boleh saya minta nomor teleponmu?”

“Hngg..” Prissy kembali terdiam. Alvin meminta nomor teleponnya?

“Engg.. maksud saya, kalau kamu dapat kabar tentang Ify. Kamu bisa langsung kabari saya”Oh My God! Tentu saja Alvin meminta nomor teleponnya untuk kepentingan Ify. Kenapa sampai berpikir yang tidak-tidak? Prissy merutuk dalam hati.

“Tentu..” lalu ia menyebutkan beberapa digit nomor yang langsung Alvin simpan di ponselnya. Setelah itu Prissy pulang sambil merutuki kebodohannya sendiri.

***

Barang yang sudah di beli, tidak bisa di kembalikan
Begitu juga dengan jepit itu. barang yang sudah di beri, gak boleh di kembalikan :)

“Jadi, elo gak boleh kembaliin jepit itu” Ify mendongak. Rio berdiri tepat di depannya. Sejak kapan laki-laki itu ada di sana? Rio tersenyum lebar. Seperti biasa. Dan Ify pun tak pernah suka dengan senyum itu. Seperti biasa.

“Elo itu gak tau diri banget ya!”

“Memang. Gue gak pernah tau, diri gue bisa sesuka ini kalau ngeliat elo” Ify mendecak. Omongan laki-laki. Pasti selalu manis. Ify tak akan pernah suka dengan apapun yang keluar dari mulut laki-laki.

“Denger ya! Elo jangan sekali-kali lagi deketin gue!”

“Kenapa? Gue suka sama lo, kenapa gue gak boleh deketin elo?” Lagi-lagi Rio tersenyum lebar. Melihat Rio yang seperti itu membuat Ify semakn jengkel. Begitu saja, Ify meninggalkan Rio yang tersenyum puas.

***

Besok kami akan melapor ke polisi. Mungkin dengan bantuan polisi Ify bisa ditemukan..
Sender : Prissy

Shilla memutar ponselnya. Pesan singkat dari Prissy itu sudah sampai di ponselnya sekitar sepuluh menit yang lalu. Polisi. Kalau urusannya sudah dengan polisi, pasti keluarga Ify sudah cemas setengah mati. Shilla tak mau keluarga Ify cemas, tapi ia juga tak mau mengecewakan Ify. Shilla tau Ify pasti masih sedih dan kecewa. Tapi, ini urusannya sudah sampai tingkat lapor polisi.

Crekk..

Tiba-tiba Ify masuk dengan wajah kesal. Sepertinya Ify sudah kembali berdebat dengan kakaknya. Ify menghampiri Shilla lalu duduk di tepi ranjang Shilla.

“Kenapa Fy?” Ify menoleh. Dilihatnya Shilla memandang ke arahnya.

“You know lah.” Shilla tersenyum. Ia melihat kotak kecil itu di tangan Ify. Pasti Rio berhasil membuat Ify terpaksa menerima jepit rambut manis itu.

“Jepit rambutnya bagus loh Fy. Kalau gue sih pasti udah langsung gue terima aja.” katanya, Shilla meraih kotak kecil itu dan mengeluarkan jepit rambut yang ada di dalamnya.

“Ambil aja kalau elo mau.” Dengan senang hati Ify akan menyerahkan jepit itu pada Shilla.

“Gak bisa dong Fy. Ini kan dari Rio buat elo. Bukan buat gue. Lagian, gue kurang suka pake jepit rambut.” Shilla kembali memasukan jepit itu ke dalam kotaknya lalu di kembalikan pada Ify. Gadis itu hanya diam.

Shilla kembali teringat isi pesan singkat yang tadi Prissy kirimkan. Sebaikanya Ify pulang. Ya, Ify harus pulang sebelum semuanya jadi runyam. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Shilla takut Ify marah dan tak mau lagi berteman dengannya.

“Fy, boleh gue tanya sesuatu?” Ify berbalik menatap Shilla. Nekat kau Shilla. Rutuknya dalam hati. Namun melihat Ify yang tersenyum sedikit membuatnya lega.

“Mau nanya apa?”

“Emm.. soal nyokap lo itu, gue sebenernya belum ngerti apa masalah sebenarnya.” Ify menghela nafas. Kemarin Ia memang hanya menceritakan beberapa bagian saja pada Shilla. Shilla berharap Ify akan menceritakannya lagi, dan ia bisa menemukan benang merah dari masalah yang sedang Ify hadapi. Mungkin saja dengan begitu, ia bisa memberi Ify pengertian dan Ify mau pulang.

“Intinya, gue gak mau punya papa baru.”

“kenapa?”

“Lo gak akan pernah ngerti gimana rasanya gak punya papa. Dan sekarang, mama dengan seenaknya kasih gue papa. Gak segampang itu Shil. Gue udah terlanjur benci sama yang mananya laki-laki.” Ify kembali menahan emosinya. Laki-laki di dunia ini sama. Tak ada yng dapat di percaya.

“Lo gak boleh gitu dong Fy. Gak semua laki-laki itu sama.”

“Semua laki-laki itu sama Shil! Gue gak pernah pingin deket sama laki-laki karena gue tau, mereka sama aja! Semua yang keluar dari mereka itu palsu. Bohong besar!” Ify menggigit bibir bawahnya. Pandangannya mulai kabur.

Shilla memegang bahu Ify. Ia tak menyangka Ify sampai sebegitunya benci dengan makhluk bernama laki-laki.

“Fy, gue punya papa, dia laki-laki. Gue juga punya kakak, kakak gue laki-laki. Gak semua laki-laki sama Fy.”

“Shil, elo tuh..”

“Iya, gue memang gak pernah ngalamin semua yang pernah elo alami. Tapi, seumur hidup gue, gue gak pernah kecewa sama papa ataupun Rio.”

“Tapi semua..”

“Ify, dengerin gue dulu!” Shilla sedikit membentak. Dirasakannya bahu Ify bergetar, pipinya pun mulai basah. “Fy, elo bisa ngomong semua laki-laki itu sama karena elo gak pernah kasih kesempatan untuk laki-laki masuk ke kehidupan elo.”

“Gue takut Shil,, gue takut..” kini badannya benar-benar lemas. Ify hanya bisa manangis saat Shilla merengkuhnya ke dalam pelukannya.

“Gue bisa buktiin kalau laki-laki itu gak semua sama. Lo liat Rio. Gue tau dia sayang banget sama elo. Kenapa elo gak coba buat buka hati lo untuk Rio. Suapaya elo tau, laki-laki itu gak semuanya sama.” Ify benar-benar hanya bisa terisak di pelukan Shilla. Ify benar-benar takut. Tak ternyata laki-laki yang dekat dengannya justru akan meninggalkannya kelak. Ify takut harus menerima kenyataan itu lagi.

“Sekarang elo pulang ya.. Prissy bilang, nyokap lo khawatir banget. Lo gak mau kan liat nyokap lo khawatir?” Ify menggeleng. “Lo pulang ya Fy. Nanti lo bicara baik-baik sama nyokap lo. Semua pasti ada jalan keluarnya.”

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar