About Us
[08] Perhatian Alvin. Nasihal Shilla..
Alvin jadi bingung. Sejak ia berada di rumah ini, Alvin
memang hanya bisa diam, memperhatikan dua perempuan di depannya. Tak jauh beda
dengan Prissy –gadis yang duduk di sebelah mama Ify-, gadis itu pun tak bicara
sejak ia sampai ke rumah ini. Kebetulan saja Alvin bisa tau namanya dari name
tag di seragam sekolahnya.
Ify hilang. Hanya itu yang ia ketahui. Alvin memang baru
bertemu dengan Ify satu kali, dan ia tak pernah tau apa-apa tentang Ify. Sejak
tadi pagi, Alvin dan mama Ify hanya bisa berkeliling tak jelas menghabiskan bensin
untuk mencari anak sematawayang calon ibunya itu. Nyatanya sampai jam pulang
sekolah Ify tak kunjung ditemukan. Setelah dilanjutkan bersama Prissy setelah
pulang sekolah pun hasilnya tetep sama. Ify tak di temukan dimanapun.
Drrttt..drrttttt..
Getaran ponsel di saku celananya mengagetkan Alvin. Alvin merogoh saku celananya dan melihat layar
ponselnya.
Ayah
Alvin segera beranjak, lalu dengan sedikit membungkuk ia
meminta ijin pada Prissy yang sepertinya terganggu dengan gerak-geriknya
–karena memang tak ada yang bisa di lakukan- dan menjauh dari dua perempuan
itu.
“Haloo, kenapa yah?”
“Ify udah ketemu?” memang tak ada lagi yang bisa ayahnya
tanyakan selain pertanyaan itu. Ayahnya memang tak sedang berada di kota yang sama.
Karena tugas dari kantor, kemarin sore ayah pergi ke luar kota.
“Belum. Alvin sama tante Shintia udah cari keliling-keliling
tadi. Tapi Ify gak ada di mana-mana.” Terdengar ayahnya menghela nafas. Alvin
tau, ayahnya tak kalah cemas. Menurut cerita ayah, ayah lah yang pertama
dikabari tante Shintia tentang hilangnya Ify.
“Kamu jangan berhenti cari Ify ya Vin. Kamu temenin tante
Shintia. Ayah janji setelah semuanya selesai, ayah pasti langsung pulang.”
“Ayah gak usah khawatir. Tante Shintia udah Alvin anggap seperti
ibu Alvin sendiri.” Setelah mendengarkan beberapa kalimat dari ayahnya, Alvin
menutup sambungan teleponnya. Ia kembali ke ruang kemuarga rumah Ify. Tempat
dimana tadi mama Ify dan Prissy berada.
“Lho? Tante Shintia kemana?” prissy yang sedang menunduk
memandang ponselnya pun mendongak. Laki-laki jangkung berkulit putih itu
berdiri menunggu jawban darinya.
“Tante Shintia di kamar. Beliau pasti kecapean, sekarang
lagi istirahat” Alvin membulatlkan bibirnya. Ia kembali duduk di tempat tadi.
Di sofa lain sebalah sofa yang Prissy tempati.
Keheningan kembali menyelimuti ruangan yang tak lebih besar
dari ruang kelas Prissy. Ia kembali melihat Alvin yang diam, melamun. Matanya
menatap kosong ke sembarang arah. Prissy benar-benar bisa melihat raut ke
khawatiran di sama. Baru saja pertama bertemu, Prissy yakin Alvin orang yang
baik. Kalau memang Alvin tak peduli dan bersikap seperti Ify kepada keluarga
Alvin, Alvin tak akan terlihat secemas ini dan serepot ini mengurusi tante Shintia
dan membantu mencari Ify. Kalau Alvin tak ada, pasti dirinya dan mama Ify akan
kelabakan dan panik.
“Tante Shintia itu udah seperti mama saya sendiri. Tante
Shintia sangat baik.” Prissy sedikit tersentak. Akankah laki-laki itu melihat
ia sedang memperhatikannya? Prissy menunduk, menyembunyikan rasa malu yang
mulai menjalar ke pipinya dan membuatnya sedikit bersemu.
“Saya sayang sekali pada tante Shintia.” Prissy kembali
menata perasaannya. Bukan saatnya malu. Prissy kembali menatap Alvin.
“Mungkin ayah memperkenalkan tante Shintia pada saya lebih
dulu dari tante Shintia memperkenalkan Ify pada ayah. Mungkin itu yang membuat
saya lebih mengenal tante Shintia.” Prissy juga mengira seperti itu. Karena
baru sekitar seminggu yang lalu Ify menceritakan bahwa ibunya ingin menikah
lagi.
“Saya juga baru sekali bertemu Ify. Menurut saya, Ify itu
cenderung tertutup dan umm.. sedikit menyebalkan.” Walau sebenarnya Prissy tak
pernah merasa Ify menyebalkan, dari ceritanya Ify kemarin Prissy tau apa yang
membuat Alvin bisa berkata Ify orang yang menyebalkan.
“Sebelumnya, saya semangat sekali untuk bertemu Ify. Ayah
bilang Ify anak yang manis. Dari dulu, saya memang ingin punya adik perempuan.
Tapi setelah saya bertemu dengannya, dia bersikap seperti itu.” Kini laki-laki
itu tersenyum samar. Kembali mengingat saat
mereka berempat pergi bersama. Ify selalu memilih sesuatu yang paling mahal.
Sampai ayahnya kewalahan tapi sama sekali tak terlihat keberatan. Ia ingat
betul saat ia berusaha protes pada ayahnya dengan kelakuan Ify itu, ayahnya
hanya berkata ‘Biarlah ini jadi
kenang-kenangan pertama untuknya’.
“Ayah melarang keras saya untuk balik bersikap seperti Ify
bersikap pada kami. Saya memang belum mengenal gadis itu. Saya gak tau apa yang
bikin dia bersikap seperti itu. Mungkin dia memang tak suka dengan keberadaan
kami. Tapi sekali lagi ayah berhasil meyakinkan saya, anak tak akan jatuh jauh
dari pohonnya. Tante Shintia yang begitu baik jadi tolak ukur saya untuk
meyakini bahwa Ify juga sebenarnya anak yang manis.” Prissy benar-benar tak
menyangka Alvin dan Ayahnya begitu bijaksana menghadapi tingkah laku Ify. Bukan
hanya tampan, tapi Alvin juga baik hati.
“Kamu tau kenapa Ify bisa sampai pergi dari rumah?” Prissy
sedikit tersentak. Tak pernah sedikitpun Ify melewatkan untuk mencertakan keluh
kesahnya padanya. Apa Alvin harus tau? masalahnya, kemungkinan terbesar Ify
pergi dari rumah, itu ya karena ia tak mau menerima Alvin dan ayahnya untuk
menjadi anggota keluarga barunya. Haruskah ia memudarkan harapan Alvin dan ayahnya
untuk mengambil hati Ify?
“Ify memang sedang bersama saya sebelum dia menghilang. Saat
akan pergi ke sekolah, Ify tiba-tiba menangis dan akhirnya saya bawa pulang ke
rumah saya. Saat itu Ify hanya menangis. Akhirnya saya memutuskan untuk membeli
cemilan untuk kita berdua.” Sivia menghela nafas. Ia manatap Alvin. Laki-laki
itu sedang melihat padanya. Prissy tau Alvin sedang menunggu kelanjutan
ceritanya.
“Tapi, saat saya sampai di rumah, Ify menghilang. Ia hanya
meninggalkan catatan kecil. Ia akan pulang. Saya gak lagi khawatir. Saya pikir
Ify sudah merasa tenang dan akhirnya pulang. Ify tak sempat cerita apapun.”
Prissy menggigit bibir bawahnya. Berharap Alvin percaya pada kalimat-kalimatnya
barusan. Tentu saja Prissy berbohong. Ia tak bisa mengatakannya di situasi
seperti ini.
Keduanya kembali terdiam. Prissy kembali melihat Alvin yang
diam. Tiba-tiba terdengar pintu utama rumah itu di ketuk. Keduanya langsung
tersentak. Mungkinkah itu Ify? Harapan pun kembali menyusup dua manusia yang
hampir menyerah itu.
“Biar saya yang buka.” Alvin mengangguk. Lalu ia melihat
Prissy berdiri dan meninggalkannya. Tak lama, gadis itu kembali.
“Kakak nenyuruh orang untuk datang kesini?”
“Ah..” Ya, Alvin hampir lupa. Tadi sore ia menyuruh
pembantunya itu untuk datang ke rumah ini. Tentu saja Alvin tak akan membiarkan
Shintia sendirian. Untuk mencegah hal yang tidak-tidak tentang mereka dari para
tetangga, Alvin menyuruh pembantunya itu
kemari.
“Suruh masuk saja.” Prissy menurut, tak lama ia kembali dengan
membawa wanita paruh baya ke depan Alvin.
Setelah Alvin memberi beberapa pengarahan pada pembantunya,
Alvin kembali ke ruang keluarga rumah itu. Prissy masih ada di sana. Alvin tau,
gadis itu pasti lelah.
“Lebih baik kamu pulang.” Prissy mendongak, terkejut
mendapati Alvin yang kini berdiri tepat di depannya.
“Kamu pasti cape. Orang tuamu juga pasti khawatir.” Prissy
pun mengangguk dan segera meraih tasnya.
“Saya mau pamit sama tante.”
“Gak usah. Jangan ganggu istirahatnya. Nanti saya yang
sampaikan.”
Prissy tersenyum. “Baiklah. Terimakasih.”
“Mau saya antar?”
“Hngg..” Prissy terdiam. “Engg.. gak udah. Saya bisa pakai
taksi.” Tolaknya halus. Prissy bukan tak percaya pada Alvin, apalagi setelah
melihat apa yang telah dilakukannya seharian ini. Hanya saja Prissy tau Alvin
pasti lelah. Ia tak mau menambah beban Alvin karena harus mengantarkannya.
“Saya pulang dulu kak..” katanya. Lalu ia berjalan manuju
pintu depan. Ternyata Alvin mengekorinya. Laki-laki itu berhenti di ambang
pintu.
“Mungkin saya akan lapor polisi besok. Hati-hati..” Prissy
mengangguk. Uh, kalau saja dirinya ini Ify. Dengan senang hati Prissy akan
menerima Alvin sebagai kakaknya.
“Prissy..”Saat akan membuka pagar, Prissy kembali menoleh
saat terdengar Alvin menyerukan namanya. Alvin tau namanya? Ini pertama kali
Alvin memanggil namanya.
“Boleh saya minta nomor teleponmu?”
“Hngg..” Prissy kembali terdiam. Alvin meminta nomor
teleponnya?
“Engg.. maksud saya, kalau kamu dapat kabar tentang Ify.
Kamu bisa langsung kabari saya”Oh My God! Tentu saja Alvin meminta nomor
teleponnya untuk kepentingan Ify. Kenapa sampai berpikir yang tidak-tidak?
Prissy merutuk dalam hati.
“Tentu..” lalu ia menyebutkan beberapa digit nomor yang
langsung Alvin simpan di ponselnya. Setelah itu Prissy pulang sambil merutuki
kebodohannya sendiri.
***
Barang yang sudah di
beli, tidak bisa di kembalikan
Begitu juga dengan jepit itu. barang yang sudah di beri, gak boleh di kembalikan :)
Begitu juga dengan jepit itu. barang yang sudah di beri, gak boleh di kembalikan :)
“Jadi, elo gak boleh kembaliin jepit itu” Ify mendongak. Rio
berdiri tepat di depannya. Sejak kapan laki-laki itu ada di sana? Rio tersenyum
lebar. Seperti biasa. Dan Ify pun tak pernah suka dengan senyum itu. Seperti
biasa.
“Elo itu gak tau diri banget ya!”
“Memang. Gue gak pernah tau, diri gue bisa sesuka ini kalau
ngeliat elo” Ify mendecak. Omongan laki-laki. Pasti selalu manis. Ify tak akan
pernah suka dengan apapun yang keluar dari mulut laki-laki.
“Denger ya! Elo jangan sekali-kali lagi deketin gue!”
“Kenapa? Gue suka sama lo, kenapa gue gak boleh deketin
elo?” Lagi-lagi Rio tersenyum lebar. Melihat Rio yang seperti itu membuat Ify
semakn jengkel. Begitu saja, Ify meninggalkan Rio yang tersenyum puas.
***
Besok kami akan
melapor ke polisi. Mungkin dengan bantuan polisi Ify bisa ditemukan..
Sender : Prissy
Sender : Prissy
Shilla memutar ponselnya. Pesan singkat dari Prissy itu
sudah sampai di ponselnya sekitar sepuluh menit yang lalu. Polisi. Kalau
urusannya sudah dengan polisi, pasti keluarga Ify sudah cemas setengah mati.
Shilla tak mau keluarga Ify cemas, tapi ia juga tak mau mengecewakan Ify.
Shilla tau Ify pasti masih sedih dan kecewa. Tapi, ini urusannya sudah sampai
tingkat lapor polisi.
Crekk..
Tiba-tiba Ify masuk dengan wajah kesal. Sepertinya Ify sudah
kembali berdebat dengan kakaknya. Ify menghampiri Shilla lalu duduk di tepi
ranjang Shilla.
“Kenapa Fy?” Ify menoleh. Dilihatnya Shilla memandang ke
arahnya.
“You know lah.” Shilla tersenyum. Ia melihat kotak kecil itu
di tangan Ify. Pasti Rio berhasil membuat Ify terpaksa menerima jepit rambut
manis itu.
“Jepit rambutnya bagus loh Fy. Kalau gue sih pasti udah
langsung gue terima aja.” katanya, Shilla meraih kotak kecil itu dan
mengeluarkan jepit rambut yang ada di dalamnya.
“Ambil aja kalau elo mau.” Dengan senang hati Ify akan
menyerahkan jepit itu pada Shilla.
“Gak bisa dong Fy. Ini kan dari Rio buat elo. Bukan buat
gue. Lagian, gue kurang suka pake jepit rambut.” Shilla kembali memasukan jepit
itu ke dalam kotaknya lalu di kembalikan pada Ify. Gadis itu hanya diam.
Shilla kembali teringat isi pesan singkat yang tadi Prissy
kirimkan. Sebaikanya Ify pulang. Ya, Ify harus pulang sebelum semuanya jadi
runyam. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Shilla takut Ify marah dan tak mau lagi
berteman dengannya.
“Fy, boleh gue tanya sesuatu?” Ify berbalik menatap Shilla.
Nekat kau Shilla. Rutuknya dalam hati. Namun melihat Ify yang tersenyum sedikit
membuatnya lega.
“Mau nanya apa?”
“Emm.. soal nyokap lo itu, gue sebenernya belum ngerti apa
masalah sebenarnya.” Ify menghela nafas. Kemarin Ia memang hanya menceritakan
beberapa bagian saja pada Shilla. Shilla berharap Ify akan menceritakannya
lagi, dan ia bisa menemukan benang merah dari masalah yang sedang Ify hadapi.
Mungkin saja dengan begitu, ia bisa memberi Ify pengertian dan Ify mau pulang.
“Intinya, gue gak mau punya papa baru.”
“kenapa?”
“Lo gak akan pernah ngerti gimana rasanya gak punya papa.
Dan sekarang, mama dengan seenaknya kasih gue papa. Gak segampang itu Shil. Gue
udah terlanjur benci sama yang mananya laki-laki.” Ify kembali menahan
emosinya. Laki-laki di dunia ini sama. Tak ada yng dapat di percaya.
“Lo gak boleh gitu dong Fy. Gak semua laki-laki itu sama.”
“Semua laki-laki itu sama Shil! Gue gak pernah pingin deket
sama laki-laki karena gue tau, mereka sama aja! Semua yang keluar dari mereka
itu palsu. Bohong besar!” Ify menggigit bibir bawahnya. Pandangannya mulai
kabur.
Shilla memegang bahu Ify. Ia tak menyangka Ify sampai
sebegitunya benci dengan makhluk bernama laki-laki.
“Fy, gue punya papa, dia laki-laki. Gue juga punya kakak,
kakak gue laki-laki. Gak semua laki-laki sama Fy.”
“Shil, elo tuh..”
“Iya, gue memang gak pernah ngalamin semua yang pernah elo
alami. Tapi, seumur hidup gue, gue gak pernah kecewa sama papa ataupun Rio.”
“Tapi semua..”
“Ify, dengerin gue dulu!” Shilla sedikit membentak.
Dirasakannya bahu Ify bergetar, pipinya pun mulai basah. “Fy, elo bisa ngomong
semua laki-laki itu sama karena elo gak pernah kasih kesempatan untuk laki-laki
masuk ke kehidupan elo.”
“Gue takut Shil,, gue takut..” kini badannya benar-benar
lemas. Ify hanya bisa manangis saat Shilla merengkuhnya ke dalam pelukannya.
“Gue bisa buktiin kalau laki-laki itu gak semua sama. Lo
liat Rio. Gue tau dia sayang banget sama elo. Kenapa elo gak coba buat buka
hati lo untuk Rio. Suapaya elo tau, laki-laki itu gak semuanya sama.” Ify
benar-benar hanya bisa terisak di pelukan Shilla. Ify benar-benar takut. Tak
ternyata laki-laki yang dekat dengannya justru akan meninggalkannya kelak. Ify
takut harus menerima kenyataan itu lagi.
“Sekarang elo pulang ya.. Prissy bilang, nyokap lo khawatir
banget. Lo gak mau kan liat nyokap lo khawatir?” Ify menggeleng. “Lo pulang ya
Fy. Nanti lo bicara baik-baik sama nyokap lo. Semua pasti ada jalan keluarnya.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar