Gadis itu mulai membuka matanya. kelopak matanya begitu
terasa berat. Begitu pun dengan kepalanya. Sambil memijit keningnya, ia
meringis merasakan sakit di kepalanya. Ia tak tau apa yang menyebabkannya jadi
seperti ini. yang diingatnya, sejak pertengkarannya dengan Gabriel tadi malam
ia tak berhenti menangis sampai akhirnya ia tertidur.
Ify melirik jam kecil di atas meja dekat tempat tidurnya.
09.37. matanya langsung beralih pada jendela besar tak jauh dari tempat
tidurnya. Matahari sudah mulai naik. Melihat gorden ungu muda yang sudah
terbuka, mungkin ibunya sudah melihat keadaannya dan membiarkannya
beristirahat.
Ify mulai membawa tubuhnya untuk duduk bersandar di tepi
tempat tidur. Saat melihat jam tadi, tak sengaja Ify melihat secarik kertas di
sana. Seingatnya ia tak pernah menaruh kertas disana. Ify kembali memastikan.
Dan benar saja, terdapat secarik kertas di sana.
Ify mengerutkan kening. Ternyata ada benda asing lain yang
tergeletak di meja lampunya. Ify meraih setangkai mawar merah itu yang ternyata
tersambung dengan kertas yang dilihatnya tadi.
Get Well Soon :)
“Fy, kamu udah bangun?” Ify cepat menengok kea rah sumber
suara. Dengan segera, ia menarik kedua ujung bibirnya saat melihat ibunya
berdiri di ambang pintu. Kerena terlalu serius dengan kertas dan mawarnya, Ify
sampai tak mendengar ibunya membuka pintu.
“Pusing?” Ify mengangguk samar. Wanita paruh baya itu
menaruh punggung tangannya di kening Ify. “Kayaknya kamu kecapean. Kemarin
malem juga kamu gak ikut makan. Kamu kenapa? ada masalah?” Ify hanya menggelang
pelan. Kepalanya masih terasa sakit saat ia menggerakkan kepalanya. Ia tak mau
ibunya tau tentang masalahnya dengan Gabriel.
“Mama ini ibumu nak. Kalau kamu punya masalah, kamu boleh
cerita sama mama”
“Aku gak papa ma. Mama benar, aku kecapean. Sehari istirahat
di rumah juga besok sembuh” Ify tersenyum berusaha meyakinkan.
“Tapi janji ya, lain kali kalau kamu ada masalah kamu cerita
sama mama” Ify mengangguk. Naluri seorang ibu memang tak pernah salah. Walaupun
tau anaknya sedang ada masalah, mama Ify membiarkan anaknya untuk memilih,
menceritakan atau tidak masalah yang sedang di hadapinya. Melihat sangmama
tersenyum, membuat Ify lega.
“Kamu makan ya? Mama ambil makanan sebantar..” Ify
mengangguk. Wanita paruh baya itu bangkit dari tempat tidur Ify dan segera
menuju dapur.
“Eh ma,,”
“Ya? Kenapa Fy?” mendengar panggilan dari anaknya wanita itu
kembaliberbalik dan menunggu Ify mengucapkan sesuatu.
Ragu-ragu Ify menatap setangkai bawar yang masih ada di
tangannya. “Mama tau siapa yang kasih mawar ini?” mama Ify menarik kedua ujung
bibirnya, membuat Ify makin penasaran dengan sang pengirim. Ify tau mamanya tau
siapa yang mengirimkan mawar yang sedang di pegangnya itu.
“Nanti siang dia mau kesini lagi. Nanti kamu liat aja sendiri”
mamanya berlalu. Menghilang di balik pintu kamar Ify.
Ify kembali membaca tiga kata yang tertulis di sebuah kertas
yang di gantungkan dengan tali di tangkai mawar itu. Bila melihat tulisannya,
tulisan ini seperti tulisan Gabriel. namun, mengingat hubungannya yang sedang
tidak harmonis, membuatnya pesimis dan takut berandai mawar itu pemberian Gabriel.
***
Gabriel sedikit menjinjit. Matanya sedikit menyipit untuk
memfokuskan penghilatannya yang ia edarkan untuk mencari seseorang di dalam
ruangan di depannya. Gabriel mencari gadis itu.
“Cari Ify? Ify gak ada. Katanya sih sakit” Gabriel menoleh
dan mendapati gadis berambut pendek itu sedang berpangku tangan sambil
bersandar di dinding tepat sebelah ia berdiri. “Ngapain sih kak masih aja nanyain
orang kayak dia?”
“Kayak dia gimana?”
“kakak tau kan Ify sama kak Alvin jalan bareng?” tentu Gabriel
mengangguk. Pastinya Gabriel tau betul. Karena setiap Ify pergi dengan Alvin,
tanpa di mentai tolong lagi Cakka pasti memberi tahu.
“Terus kenapa?”
Sivia berdecak kesal. Masa iya Gabriel yang notabene juara
umum ini tak mengerti? “Itu kan artinya Ify gak setia sama kakak”
“kenapa bisa gitu?”
“Kok kenapa lagi sih kak” Sivia mulai kesal. “Ify jalan sama
Alvin tanpa sepengetahuan gue. Temen macem apa kalau kayak gitu. Harusnya Ify
kan tau kak Alvin itu siapa. Kak Alvin sampe boong sama gue buat jalan sama Ify”
Gabriel tak heran. Sama seperti dirinya, gadis itu pasti
kecewa mendapati kenyataan yang sebenarnya belum jelas ini. Gabriel ikut
menyenderkan tubuhnya di sebelah Sivia. Ia menghela nafas.
“soal apa yang barusan elo omongin ke gue, kok kesannya Ify
yang salah ya?”
“kalau dia nolak, semuanya gak akan jadi kayak gini!” Gabriel
tersenyum samar sambil sedikit menggelengkan kepala. Ia tau, gadis ini sudah
terlanjur sakit hati.
“Itu sih terserah elo juga ya. Tapi kalau gue sih bakal
minta penjelasan dulu sama Ify. Kalaupun Ify memang salah, yang pertama gue
benci adalah diri gue sendiri. Karena gue gak berhasil buat dia nyaman ada di
deket gue sampe dia harus cari kenyamanan itu di orang lain.”Gabriel berlalu
begitu saja. Walau sebenarnya ia tau, apa yang dilakukannya tadi malam sangat
bertolak belakang dengan apa yang baru di bicarakannya dengan Sivia. Gabriel hanya
ingin memberi Ify sedikit teguran.
***
“Kak Alvin..” mendengar ada yang memanggilnya, Alvin menoleh
. Sivia.
Kata kata Gabriel terus saja mengiang di telinganya. Apa yang
Gabriel bilang memang ada benarnya. Mengapa juga ia langsung menjugde Alvin
tanpa mendengarkan penjelasan Alvin. Sepanjang pelajaran Sivia memilirkannya. Dan
akhirnya ia sudah memantapkan hatinya untuk meminta penjelasan Alvin dan aakan
menerima apapun keputusan laki-laki itu.
Alvin diam di tempatnya, sedangkan Sivia berjalan
menghampirinya.
“Kakak ada waktu sebentar?”
“Tentu..” jawab Alvin. Tentu saja ini kesempatan untuk Alvin
memperbaiki semuanya.
“Kita ngobrolnya di rumahku aja yu?” Sivia hanya ingin
berjaga-jaga. Mungkin saja nanti keputusan Alvin malah memperberat dirinya, ia
tak perlu repot-repot menahan air matanyasepanjang perjalanan pulang ke rumah. Namun,
Alvin malah mengerutkan keningnya. “Mama papa gak ada di rumah kok kak. Dirumah
Cuma ada mbak dini aja. Kita juga ngobrolnya di luar aja” seolah tau apa yang
ada di benak Alvin, Sivia menjelaskan.
“Oke.. motorku masih di parkiran. Ayo..” Alvin mengulurkan
tangannya. Sivia hanya meliriknya. Ia tak membalas uluran tangan Alvin sampai
akhirnya laki-laki itu menariknya lagi. “Kamu jalan duluan...”akhirnya Sivia
berjalan selangkah di depan Alvin.
“Aku mau tau kenapa kakak sama Ify bisa jalan bareng di mal
kematin?” setelah cukup lama berdiam, akhirnya Sivia memecah keheningan. Kini keduanya
sedang duduk di teras depan rumah Sivia. Tak seperti biasanya, kini di antara Sivia
dan Alvin terhampar jarak yang lumayan jauh.
“Aku.. Aku..” Alvin ragu. Ia menghela nafas. Apakah ia harus
mengakui yang sebenarnya?
“kakak jujur aja. Gak papa kok” Sivia menunduk. Ia berusaha
tersenyum saat sekilas ia melirik pada Alvin.
“Aku bohong sama kamu karena sebelumnya aku udah janji sama Ify”
“kenapa kakak gak bilang yang sebenarnya?” Alvin melirik Sivia.
Gadis itu menunduk, sampai rambut pendeknya menutupi pipinya.
“Aku gak mau sakitin kamu” jawab Alvin. Sivia mendongak,
lalu menatap Alvin.
“Tapi kakak tau kan, ini udah nyakitin aku?” Alvin mencelos.
ia tau, ia telah mengecewakan gadis sebaik Sivia. “Apa kakak emang sayang sama Ify?”
Alvin diam. Ia bingung. Alvin bingung dengan perasaannya sendiri. Di satu sisi,
ia tak mau membuat gadis yang duduk –hampir- disebelahnya ini kecewa. Tapi,
disisi lain, tak tak bisa menyangkal bahwa ia memang menyukai adik sahabatnya
ini.
“kenapa kakak gak jawab?”
“Sivia,, aku.. aku minta maaf”
“Kenapa minta maaf? Aku kan belum tau kakak salahnya dimana.
Kakak belum jelasin semuanya lohh” Alvin kembali diam. Sivia melirik Alvin. Ia tersenyum
miris. Apakah laki-laki ini memang benar hanya ingin memepermainkannya? Mengapa
Alvin sama sekali tak berusaha menyangkal?
“Kejujuran itu penting. Mau seromantis apapun suatu hubungan
tanpa adanya kejujuran, gak akan berjalan dengan baik kak. Aku Cuma minta kakak
jujur sama aku” pandangannya mulai kabur. Sivia betrusaha tak berkedip. Menahan
butiran itu agar tak jatuh.
“Aku memang suka sama Ify, Via. Sejak dulu. Sejak Ify masih
duduk di bangku SMP. Sejak aku belum kenal kamu, bahkan belum kenal Gabriel.” Sivia
menghela nafas, dadanya kembali terasa sesak. Pengakuan Alvin cukup membuatnya
merasakan bagian menyakitkan dari sebuah cinta. Ternyata ia tak setegar itu.
air matanya akhirnya jatuh, menganak sungai di pipi merahnya.
“Aku minta maaf. Aku gak tau kamu beneran sayang sama aku. tadinya,
aku mau minta kamu bantuin aku buat bikin Ify cemburu. Tapi, liat reaksi kamu,
aku gak tega ngomongnya. Aku minta maaf Vi..”
“Aku juga yang salah. Aku juga mau-maunya terima kakak
padahal kita gak deket sebelumnya. Harusnya aku sadar, aku bukan cewek manis
yang pantas untuk jadi pendamping kakak” Sivia mengusap kasar air mata di
pipinya.
“Via..” Alvin menahan pergelangan tangan Sivia. Ia berdiri,
menyamakan posisinya dengan Sivia yang juga berdiri. Sivia menunduk, dengan
satu tangannya yang bebas menutup mulutnya.
“Aku ngerti kok kak. Hubunga kita selsai sampai disini kan? Kakak
mending jenguk Ify aja. Kasihan dia lagi sakit” Sivia melepaskan cengkraman
tangan Alvin di pergelangan tangannya. Sivia segera masuk dan menutup pintu
rapat-rapat.
“Arrrgggggghhhhhhhhhhhh!!!!!!!!!!!”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar